Minggu, 21 Maret 2010

Hukum Adzan Dan Iqomah Bagi Seorang Bayi

Sebagai seorang muslimah dalam mengarungi kehidupan sangatlah membutuhkan pemahaman dalil-dalil syar’i sebagai dasar dalam beramal. Tak lepas dari amal, maka seorang muslimah juga dituntut untuk mendakwahkannya kepada masyarakat. Karena sering kali kita dapatkan suatu amalan, namun kurang dalam pemahaman dalil yang digunakan sebagai dasar amal.
Sungguh suatu kebahagiaan jika kita mendapati kaum muslimin di dalam setiap aktivitas ibadahnya kepada Allah berlandaskan dalil, baik Al Qur’an maupun As-Sunnah, sehingga akan terhindar dari kesesatan dan kesalahan.

Tak ada satu pun seorang ibu sengaja lupa atau melewatkan hal-hal yang istimewa untuk menyambut kehadiran sang bayi. Dan salah satunya dengan mengadzani bayi di telinga kanannya dan mengiqomahi di telinga kirinya. Di satu sisi semua itu dilakukan agar bernilai ibadah di hadapan Allah dan mendapat pahala serta ridha-Nya. Di sisi lain diharapkan dengan adzan dan iqomah itu bisa melindungi anak dari gangguan syetan.
Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan kebanyakan kaum muslimin ketika mendapatkan karunia seorang bayi. Mereka mengamalkan hal itu berdasarkan pemahaman terhadap hadits yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la Al-Maushili dan Ibnu Sunni:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barang siapa dianugerahi anak kemudian ia adzan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin.” (HR. Abu Ya’la Al-Maushili dan Ibnu Sunni)
Menurut Ibnul Qayim dan Syeikh Al-Bani sanad hadits ini maudhu’, karena terdapat Marwan Bin Sulaiman. Namun, para ulama mensunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga kanan anak yang baru lahir dan iqomah pada telinga kirinya, dengan harapan agar Allah melindunginya dari Ummu Shibyan, yaitu salah satu pengikut jin.
Adapun hadits lain yang menunjukan sunnahnya adzan dan iqomah di telinga bayi adalah riwayat Abi Rafi’ :
عَنْ أبِي رَافِعٍ أنَّهُ قَالَ رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أذَّنَ فِيْ أذُنِ الحُسَيْنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ ) سنن أبي داود(
Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ ia berkata: “Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Husain ketika Fatimah melahirkannya. (Yakni) dengan adzan shalat.” (HR Abi Dawud).
Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini shahih dan hendaknya diamalkan dengan dasar hadits tersebut. Kemudian pensyarahnya, yakni Al-Mubarakafuri setelah menjelaskan kedha`ifan sanadnya dengan dasar pernyataan para ulama, berkata: Apabila ditanya: “Bagaimana mungkin dapat diamalkan sedangkan hadits itu dha`if?” Maka jawabannya: “dengan adanya riwayat-riwayat lainnya, salah satunya yaitu hadits dari Husain bin Ali, yang diriwayatkan oleh Abu Ya`la Al-Maushili dan Ibnu Sunni”. Namun yang dijadikan penguatnya pun juga dhoif sanadnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa hadits-hadits tersebut termasuk kategori dhoif (lemah).
Dilihat dari segi fadhilah dan keutamaannya, Sayyid Alawi al-Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il menyatakan bahwa mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri hukumnya sunnah. Para ulama telah mengamalkan hal tersebut tanpa seorang pun mengingkarinya.
Rahasia dan hikmah dari hal itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Dahlawi adalah:
 Adzan merupakan bagian dari syi’ar-syi’ar islam.
 Pemberitahuan tentang agama Muhammad.
 Mengkhususkan pengumandangan adzan pada bayi yang dilahirkan pada bagian telinganya.
 Di antara manfaat adzan adalah membuat setan lari.
Sedangkan Ibnul Qayim mengungkapkan tentang rahasia dari pengumandangan adzan ini adalah agar suara yang pertama kali didengar oleh seorang bayi adalah kalimat-kalimat yang mempunyai makna kebesaran dan keagungan Allah serta syahadat yang memasukkannya ke dalam agama Islam melalui talqin (pendiktean).
Setelah kita mengetahui uraian kedhoifan hadits-hadits di atas, yang mana keshohihan dari suatu periwayatan merupakan syarat diperbolehkan atau tidak untuk diamalkan, dan beberapa keutamaan dari adzan dan iqomah bagi bayi. Kemudian dihadapkan kepada realita yang terjadi di kalangan masyarakat. Bahwasanya amalan adzan dan iqomah bagi bayi ini sudah menjadi suatu keharusan atau masalah pokok yang tidak pernah terlalaikan bagi setiap orang tua.
Namun demikian, terjadi perbedaan ulama dalam hal beramal dengan hadits yang dhoif :
1. Pendapat pertama: Tidak boleh sama sekali beramal dengan hadits dhoif, tidak dalam hal keutamaan ataupun hukum. (Pendapat Yahya bin Ma’in, Abu Bakar al ‘Arobi, Imam Bukhori dan Muslim dan juga Ibnu Hazm)
2. Pendapat Kedua: Dibolehkan beramal dengan hadits dho’if. (pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad)
3. Pendapat Ketiga: Dibolehkan beramal dengan yang dhoif dalam hal-hal keutamaan, nasehat-nasehat dan yang sejenisnya selama memenuhi persyaratan. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul islam Ibnu Hajar yaitu :
1. Dhoifnya tidak keterlaluan.
2. Termasuk dalam pokok-pokok yang diamalkan.
3. Tidak meyakini bahwa amal itu betul-betul terjadi akan tetapi meyakini secara hati-hati.
Dari beberapa pendapat dan pertimbangan yang ada, baik dari segi periwayatan maupun keutamaan, para ulama menghukumi amalan ini merupakan sesuatu yang sunnah karena beberapa keutamaannya. Walaupun dari segi sanadnya dhoif, namun terdapat lebih dari tiga periwayatan hadits mengenai masalah ini. Wallahu a’lam bishowab

Reference:
 Fiqhunnisa’,
 Fiqh sunnah linnisa’
 Mendidik Anak Bersama Nabi, Muhammad Suwaid
 Sunan Abu Dawud.
 Berbagai Sumber

0 komentar:

Posting Komentar