Jumat, 12 November 2010

Adab-Adab Meminta Izin

Ini merupakan adab yang sering diabaikan oleh kebanyakan manusia dalam kehidupan rumah mereka dengan meremehkan kejiwaan maupun moral.. Disini kita akan membahas secarai singkat, padat, dan jelas tentang adab-adab meminta izin yang tidak dipaparkan secara jelas dalam pembahasan Tarbiyatul Aulad kita, yang dengan ini semoga kita bisa lebih mudah untuk menerapkannya dalam kehidupan kesehari;hari.
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke dalam rumah selain rumah kalian hingga kalian meminta izin.“ (An-Nur :27)
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya para budak kalian dan juga anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada kalian.“ (An-Nuur : 58)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya meminta izin itu disyariatkan untuk menjaga pandangan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim.
 Disunnahkan untuk mendahuluinya delgan salam sebelum meminta izin.
Dari Rib’i, dia berkata: “Telah bercerita kepada kami seorang dari bani ‘Amir, sesungguhnya dia meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau berada di rumahnya, maka dia berkata, “Apakah saya boleh masuk?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya, “Keluarlah dan ajarkan kepadanya adab meminta izin, maka ia mengatakannya: “Katakanlah Assalaamu ’alaikum, bolehkah saya masuk?” (HR.Ahmad dan Abu Daud)

Kamis, 11 November 2010

Puasa Wanita Hamil dan Menyusui pada Bulan Ramadhan

Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan puasa atas kaum muslimah secara ada’ bagi mereka yang tidak memiliki uzur karena puasa ramadhan merupakan salah satu rukun islam yang fadhu dari segala fardhu Allah dan secara qadha bagi mereka yang memiliki uzur, yaitu mereka harus mengganti mengerjakannya di hari-hari yang lain.
Wanita yang sedang hamil atau sedang menyusui, keduanya harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Bagi wanita yang hamil, jika khawatir akan membahayakan dirinya atau bayinya, maka diperbolehkan tidak berpuasa. Begitu juga dengan wanita yang sedang menyusui, apalagi jika tidak dapat mencari pengganti wanita lain yang dapat menyusui bayinya.

A. Lama Masa Hamil dan Menyusui
Allah SWT berfirman:
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ( Al-Ahqaf: 15)”
Ibnu Abbas berkata: ”Jika seorang wanita hamil selama sembilan bulan, maka dia menyusui selama dua puluh satu bulan, jika dia hamil selama enam bulan maka dia menyusui selama dua puluh empat bulan.”

Khitan dalam Islam

Dalam agama Islam, khitan merupakan salah satu media pensucian diri dan bukti ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist Rasulullah  bersabda, "Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku" (H.R. Bukhari Muslim).
Khitan secara bahasa artinya memotong. Secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis).

Rabu, 10 November 2010

UMMU MAHJAN Seorang tak dikenal yang Rasulullah saw pun merasa kehilangan terhadapnya

Beliau adalah seorang wanita yang tak pernah mengeluh. Seorang wanita tua yang berkulit hitam, dipanggil dengan nama Ummu Mahjan telah disebutkan didalam Ash-Shahih tanpa menyebutkan nama aslinya, Beliau berdomisili di Madinah.(lihat Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thabaqat 8/414)

Mengajarkan Al-Qur'an Pada Anak

Anak adalah amanah dari Allah SWT. Tidak semua orang mendapatkan anugerah ini, kecuali hanya orang-orang yang dikehendaki-Nya. Amanah ini harus dipelihara secara baik dan terus menerus dengan memberinya pendidikan yang baik dan benar.
Setiap orang tua harus belajar bagaimana memberikan hak dan kewajibannya dengan baik. Mereka harus mengetahui perkembangan-perkembangan baru tentang metode dan media pendidikan yang baik untuk menunaikan tugasnya, sehingga memperoleh hasil yang maksimal. Seharusnya orang tua mengajarkan Al-Qur’an kepada anaknya. Tujuannya agar mengarahkan mereka pada keyakinan bahwa Allah adalah Rabb mereka dan Al-Qur’an merupakan firmanNya, sehingga ruh Al-Qur’an bisa berhembus dalam jiwa mereka, serta cahayanya dapat bersinar dalam pemikiran dan intelektual mereka.

Sabtu, 05 Juni 2010

Ibadah Dalam Safar

A. Definisi Safar
Safar menurut bahasa adalah mengambil sebuah perjalanan. Atau bisa juga dikatakan safar adalah keluar dari rumah dalam rangka perjalanan atau sengaja untuk menempati suatu tempat. Orang Arab mengatakan bahwa yang dinamakan safar yaitu apabila ia telah menempuh waktu sehari dalam perjalanannya.
Sedangkan safar menurut istilah yaitu suatu perjalanan yang berhubungan dengan hukum syar'i sehingga diperbolehkannya untuk menjama' dan mengqashar sholat ataupun bolehnya ia untuk berbuka ketika berpuasa.

Minggu, 21 Maret 2010

KOSMETIK DARI BAHAN HARAM???

Wanita identik dengan suatu keindahan dan selalu ingin indah bila dipandang dari segi manapun. Karena itulah wanita adalah perhiasan. Dengan tabiat yang memang selalu tampil indah, wanita selalu mengupayakan untuk tampil menarik di depan khalayak umum. Tapi kebanyakan wanita tidak memperhatikan bahan-bahan yang terkandung dalam pembuatan kosmetik itu sendiri. Asal bikin putih langsung dibeli, padahal tidak semua bahan yang ada dalam kosmetik itu terbuat dari bahan-bahan yang halal menurut syari’at islam.
Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim wajib mengikatkan perbuatannya dengan hukum syariat sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam. Seperti contohnya kosmetik yang terbuat dari minyak babi atau sesuatu yang najis, orok bayi atau terkadang terbuat dari alkohol. Sabda Rasulullah SAW,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَى يَكُوْنَ هوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ (حديث صحيح)
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam)." (HR. Al-Baghawi).
Dengan itu kita seharusnya lebih berhati-hati lagi dalam pemakaian kosmetik dan lebih memperhatikan halal haramnya bahan yang terkandung di dalamnya.
1 Tinjauan syar’i pada kosmetik yang di dalamnya terdapat bahan minyak babi, pembahasan ini berkaitan dengan boleh tidaknya memakai ketika sholat,
Jika bahan-bahan najis yang terkandung pada alat kosmetik masih bisa dihilangkan ketika sholat, maka kosmetik masih boleh dipakai. Sebagaimana kaidah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab r.a, “Bahwasanya suatu benda atau barang yang tenggelam atau larut dalam benda lainnya bahkan bisa saja lenyap, maka tidak ada hukum baginya.”
Ataupun kemungkinan berubahnya bahan-bahan yang najis (minyak babi atau yang lain) menjadi bahan yang suci. Sebagaimana madzhab Zhahiriyah dan pendapat yang diambil oleh Ibnu Taimiyah. Contohnya, bayangkan saja kita mempunyai anjing. Yang mana hukum daging anjing dan pemeliharaannya adalah haram. Jika anjing itu terbakar dan dia akan menjadi asap bahkan abu, maka asap dan abunya tersebut tidak lagi menjadi najis. Sebab benda najis telah berpindah dari suatu benda ke benda yang lain.
Dalam koran Republika dijelaskan bahwasanya Teknologi pembuatan kosmetika saat ini sangat lekat dengan unsur syubhat (ragu-ragu). Bahan-bahan yang digunakan hingga saat ini banyak mengandung unsur-unsur yang diragukan kehalalannya. Antara lain adalah Lemak-lemak dan turunannya (Gliserin, GMS, Cetyl Alc, Stearic Acid, Stearyl Acid, Palmitate Acid, dll) yang banyak digunakan sebagai pembuatan lipstik, sabun, krim, dan lotion. Lemak hewani paling banyak digunakan. Produk dari hewan yang perlu dicermati kembali. Bisa jadi hewan yang digunakan adalah hewan haram.
Dalam dunia kosmetik, sodium heparin merupakan salah satu bahan dalam pembuatan alat kosmetik untuk jerawat ataupun hair tonic. Bagi para muslimah seharusnya lebih cermat, karena bahan dasar dari Sodium Heparin ternyata terbuat dari mukoqa (permukaan bagian dalam usus) babi. Padahal Allah SWT telah memperingatkan,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّه رِجْس
Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor”
Tetapi tidak semua demikian. Masih banyak kosmetika yang berasal dari bahan-bahan halal. yang bersumber dari lemak nabati (tumbuh-tumbuhan). Setidaknya kita lebih hati-hati lagi pada kosmetik yang berbahan seperti plasenta, kolagen, gelatin, chivet, dan lemak hewani.
2 Tinjauan syar’i pada kosmetik yang di dalamnya terdapat bahan orok bayi (plasenta.)
Dalam kitab Fiqih Kontemporer dijelaskan bahwasannya menggunakan alat-alat atau sesuatu benda yang haram tidak diperbolehkan. Dan tidak disyariatkan memakainya walaupun seandainya bahan itu dapat hancur tanpa bekas dan berubah menjadi satu jenis ke jenis lain serta tidak meninggalkan bekas.
Allah SWT telah berfirman,
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Al-Isra’:70)
Dalam keterangan ayat di atas telah jelas bahwasannya Allah telah mengaruniakan segala kenikmatan untuk hambanya dengan suatu yang baik, bukan suatu yang haram ataupun berbahaya. Sebagaimana plasenta yang jelas-jelas dibuat dari sesuatu yang haram. Plasenta organ manusia yang berfungsi sebagai nutrisi embrio dalam kandungan. Plasenta biasanya menjadi bahan baku untuk regenerasi kulit.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Aisyah r.a berkata, bahwasannya Nabi SAW bersabda,
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Memecahkan tulang mayat itu sama seperti memecah tulangnya di saat masih hidup”
Telah banyak sekali masyarakat yang telah terjebak dalam produk haram dan jelas diharam oleh agama. Walaupun banyak kasiatnya, jikalau bahan itu tidak halal tetap saja tidak halal. Karena dari situlah terlihat benar tidaknya pijakan seorang muslimah dalam agamanya.
Beginilah wahai muslimah jika hidup di bawah cengkraman musuh Allah. Yang meskipun ia beridentitas muslim, ia tidak peduli dengan halal dan haramnya yang ia produksi. Akhirnya untuk sekadar hidup bersih, sehat, dan terbebas dari zat – zat haram pun terasa sangat sulit. Ketika kita ingin badan kita bersih, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak kosmetik bahkan sabun dan juga shampoo yang kita pakai mengandung gelatin babi, atau khamr (alkohol). Dan itu tersamar. Semoga Allah melindunei kita dari segala yang syubhat. Wallahu A’lam

CINTA TANDA KEHIDUPAN

Cinta adalah bahan dasar kehidupan sebuah kalbu manusia. Orang tidak punya cinta, kita lihat pada hakikatnya ia hanya menggenggam dunia dari kulit luarnya saja. Ia hidup ibarat sebuah mesin, tidak lebih dari pada itu. Bahkan jika kita telusuri ditengah-tengah belantara kemanusiaan ini secara umum, kita tidak mendapatkan siapa sebenarnya orang yang mencintai dengan cinta yang murni, dengan beragam obyek cinta dan tingkatan cinta mereka.
Di antara mereka ada yang mencintai ilmu. Ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk ilmu. Diantara mereka ada juga yang menjadikan harta sebagai kekasih satu-satunya. Diantara mereka ada juga yang menjadikan kedudukan dan jabatan sebagai tujuan hidupnya dan cita-citanya yang tertinggi. Diantara mereka ada yang hanya mendapatkan cinta pada tatapan mata sahabat-sahabat karibnya dan wajah-wajah mereka yang ceria.
Lihatlah mereka, setiap orang yang mencintai akan menghampiri apa yang mereka cintai. Kita saksikan betapa mereka hampir-hampir tidak ada yang mereka pikirkan kecuali bagaimana caranya agar bertambah semakin dekat dengan kekasihnya dan bagaimana caranya untuk meraih keridhaannya. Bahkan, bisa-bisa cinta yang tadinya menjadi bahan dasar kehidupan kalbu manusia berubah fungsinya menjadi penyebab kalbu manusia semakin tersiksa dan sedih, ketika pihak yang dicintai berpaling dari yang mencintai.
Cinta yang paling agung dan sempurna adalah cinta yang abadi. Sebuah cinta disaat kita merasakan ketentraman dan kedamaian yang luar biasa pada setiap harinya. Sebab, pihak yang dicintai tidak pernah meninggalkan yang mencintai. Bahkan, Dia selalu memaafkan kita jika kita bersalah. Dia tetap bersabar, ketika kita berpaling dari-Nya. Dia tidak pernah bosan bersama kita, hingga kita sendiri merasa bosan. Tidakkah kita melihat adakah disana cinta yang lebih mulia dan agung dari cinta-Nya? Ya. Ia adalah bara cinta dari Zat Yang Maha Penyayang, Allah swt. Maha Suci asma-asma-Nya. Dialah yang memiliki asmaul husna dan sifat-sifat yang agung.
Dengan demikian cinta itu ada dua motivasi: keindahan dan keagungan. Dalam hal ini Allah swt adalah satu-satunya Zat yang mempunyai kesempurnaan mutlak. Dia Maha Indah dan menyukai keindahan. Bahkan Dialah refleksi dari semua keindahan. Dan keagungan semuanya hanya pada zat-Nya.
Seseorang yang mencintai selain Allah swt, hakikatnya hanyalah mencintai sebagian dari makna keindahan yang Allah swt ciptakan. Barang siapa yang mabuk pada sesuatu dari penampilan luarnya, berarti ia telah mabuk pada sebagian kecil ciptaan Allah swt di alam raya ini.
Sesungguhnya cinta kepada Allah swt adalah nikmat yang tiada bandingnya. Cinta kepada Allah swt adalah kebahagiaan yang tidak bisa ditukar dengan sesuatu apapun. Tidak akan ada yang dapat memaknainya kecuali mereka yang mencobanya. Tidak ada yang bisa merasakannya kecuali yang mengarunginya.

Referensi: Ajari Aku Cinta, Dr. Khalid Jamal

Kesabaran yang Membawa Anugrah

Tak ada salahnya kita memutar kembali memori kita, mengingat kejadian-kejadian di mana manusia seakan-akan baru menyadari bahwa dirinya bukanlah segala-galanya. Harta yang selama ini dicari, dapat musnah hanya dalam hitungan detik. Bunga jemani yang selama ini dibangga-banggakan lenyap seketika. Rumah indah yang menjadi tempat berteduh, tidak tahu bagaimana bentuknya. Keluarga yang dicintai, entah berada di mana dan tidak tahu apakah masih bisa menghirup udara gratis yang Allah berikan, atau malah sudah berbeda alam dengan dirinya. Semuanya lenyap terbawa banjir, tertimbun oleh longsor. Lalu bagaimanakah sikap seorang muslim dalam menghadapi musibah yang menimpa? Haruskah merengek meminta segalanya untuk dikembalikan? Atau malah menyalahkan ketetapan-Nya?Semua itu adalah salah satu bentuk dari berbagai bentuk ujian yang Allah berikan kepada hamba-Nya, untuk mengukur seberapa besar kekuatan iman seorang muslim. Hal ini juga merupakan bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya, yang sering disalah artikan sebagai bentuk kekejaman. Ingatlah, Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Allah  berfirman:"لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...""Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupnnya…" (QS.Al Baqoroh:286).Marilah kita bercermin kepada salah satu sosok mulia Ummul Mukminin yaitu Ummu Salamah. Dia seorang wanita yang memiliki harga diri yang tinggi dan cerdas. Ketika perang Uhud berkobar, Abu Salamah –suami Ummu Salamah sebelum Rasulullah - mengalami luka parah di lengannya. Dengan izin Allah, setelah beberapa hari mendapat perawatan, Abu Salamah pun sembuh. Akan tetapi, setelah beberapa lama luka yang menimpa Abu Salamah ketika perang Uhud terasa kembali. Sehingga membuatnya harus berbaring di tempat tidur. Suatu ketika, di masa sakitnya ia berkata kepada istrinya: "Wahai Ummu Salamah, aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda: "Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Kemudian ia berdo'a, Allahumma ajirni fi mushibati waklifli khoiron minha (Ya Allah, berilah aku pahala karena musibah yang menimpaku ini, dan berilah aku ganti dengan yang lebih baik darinya), melainkan Allah akan mengabulkan do'anya." Sebagai seorang isteri yang sangat mencintai suaminya, Ummu Salamah begitu sedih dan telah merasakan dekatnya ajal orang yang dicintainya. Maka, ia pun merawat dan menjaga suaminya dengan sabar dan kasih sayang tanpa sedikit pun berkeluh kesah.Hingga di suatu pagi, Rasulullah  datang menjenguk Abu Salamah. Dan belum sempat Rasulullah  berpamitan, Abu Salamah wafat. Rasulullah pun menutup kedua mata Abu Salamah dengan kedua tangannya yang mulia. Kemudian menengadahkan pandangannya ke atas seraya berdo'a: "Allahummaghfir li Abi Salamah warfa' darojatahu fi muqorrobin, wakhluf fi 'aqibihi fil ghobirin, waghfir lana wa lahu ya Rabbal 'alamin." ( Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, masukkanlah dia ke dalam golongan orang-orang yang dekat dengan-Mu. Berilah dia pengganti di kalangan keturunannya, dan di kalangan mereka yang masih hidup, dan ampunilah kami dan dia, wahai Robb Semesta Alam ).Ummu Salamah menghadapi musibah ini dengan penuh keimanan, dan pasrah terhadap ketentuan Allah. Ketika ingat sabda Rasul yang disampaikan Abu Salamah, ia pun berdo'a, "Allahumma ajirni fi mushibati wakhlifli khoiron minhu" (…dan berilah aku ganti yang lebih baik dari padanya). Dia bertanya-tanya dalam benaknya, "Siapakah orang yang lebih baik dari Abu Salamah yang bisa aku harapkan?" Akan tetapi ia meneruskan do'anya semata-mata sebagai bentuk ibadah.Ketika masa iddahnya telah habis, para pemuka dari kalangan sahabat segera meminang Ummu Salamah. Akan tetapi semua lamaran mereka ditolak oleh Ummu Salamah. Namun ketika Rosulullah  meminangnya, Ummu Salamah menerima pinangan beliau. Sesaat kemudian ia teringat dengan do'a yang diajarkan Abu Salamah, "…wakhlufli khoiron minhu" (…dan berilah aku ganti yang lebih baik baik dari padanya)." Dalam hatinya pun Ummu Salamah berkata, "Memang beliaulah yang lebih baik dari pada Abu Salamah."  Begitulah seharusnya yang kita lakukan ketika kita tertimpa musibah, menghadapi musibah dengan penuh keimanan, kesabaran dan selalu meminta pertolongan hanya kepada Allah. Janganlah meminta pertolongan kepada selain-Nya, karena tidak ada yang berhak memberikan pertolongan kecuali Allah semata. Adapun meminta tolong kepada makhluk-Nya hanyalah sebagai perantara dalam memberikan sebuah pertolongan. Akan tetapi ketika seorang muslim meminta hanya kepada Sang Kholiq yang menciptakan makhluk-Nya, maka Allah tidak akan pernah bosan untuk mendengar dan mengabulkan, Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hamba-Nya dalam hal apa pun. Dan Allah-lah sebaik-baik tempat untuk meminta. Wallahu a'lam bishowwab

Sunnah-Sunnah Fitroh

Islam adalah agama suci dan bersih. Adapun suci dan bersih adalah fitroh manusia dan sunah para nabi sejak zaman dahulu. Dan tentu ini adalah masalah yang harus kita ketahui dalam praktek kehidupan kita, diantaranya dengan mengamalkan sunah-sunahnya.
Diriwayatkan dari 'Aisyah ra. di dalam hadits shohih, beliau mengatakan bahwa Rosulullah bersabda:
 عَشْرٌ مِنَ الفِطْرَةِ قَصٌ الشَارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِحْيَةِ وَالسِوَاكُ وَإِسْتِنْشَاقُ المْاَءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتَفُ الْإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَإِنْتِقَاصُ المْاَءِ
"Sepuluh perkara termasuk dalam fitroh adalah; memendekkan kumis, memanjangkan jenggot, memakai siwak, menghirup air untuk membersihkan lubang hidung, memotong kuku, membasuh ruas-ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan menggunakan air ( untuk istinja' )."

Berdasarkan hadits di atas, maka dapat diuraikan dari beberapa sunah-sunah fitroh diantaranya:
1. Mencukur Bulu Kemaluan
Imam An-Nawawi berkata dari kitab syarh Muslim, istihdad adalah mencukur bulu kemaluan. Disebut istihdad karena mencukurnya menggunakan besi, yakni pisau cukur. Sedangkan yang dimaksud dengan 'anah adalah bulu yang tumbuh di atas kemaluan laki-laki maupun perempuan.
Al-'Iroqi berkata dalam Tharh At Tatsrib: "Mencukur bulu kemaluan adalah mustahab ( disunahkan ) secara ijma'." Ada perbedaan pendapat mengenai bulu kemaluan yang disunahkan untuk dicukur.
Abul Abbas bin Syuraij berkata, " Yang dimaksud adalah bulu yang ada di sekitar wilayah dubur (anus). Sedangkan menurut Imam An Nawawi, beliau berkata; "Dari semua yang disunahkan itu, tercakuplah semua yang ada di qubul ( kemaluan bagian depan ) dan apa yang ada di dubur ( kemaluan bagian belakang ) dan sekitarnya."
Dari beberapa perbedaan tersebut, pendapat yang paling masyhur di kalangan jumhur ulama' adalah semua bulu yang ada di sekitar kemaluan laki-laki (dzakar) maupun kemaluan perempuan (farj). Sedangkan yang paling baik mencukurnya adalah dengan menggunakan pisau cukur, sebab yang demikian akan lebih bersih. Adapun jika mencukurnya dengan memakai gunting ataupun dengan menggunakan kapur agar rontok, itu semua juga benar secara sunah, karena dari semuanya itu tujuan utama yang hendak diraih adalah tercapainya kebersihan.
2. Di sunnahkan untuk memotong kumis
Memanjangkan kumis adalah tradisi orang-orang kafir. Maka untuk menyelisihinya, Rasulullah  memerintahkan untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot bagi kaum laki-laki. Karena barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.

3. Di sunnahkan untuk memanjangkan jenggot
4. Bersiwak
Islam mengajarkan kebersihan tidak lain untuk menjaga kesehatan manusia itu sendiri. Maka bersiwak adalah salah satu bentuk perawatan gigi sebagaimana para dokter menganjurkannya.

5. Memotong kuku
Imam Malik berkata: "Disunnahkan bagi perempuan, memotong kuku dan mencukur kemaluan, sebagaimana keduanya juga disunahkan bagi laki-laki." Imam Asy Syaukani berkata dalam kitab Nailul Author," Disunahkan untuk memulainya dari kuku kedua tangan sebelum kuku kaki. Maka hendaknya dia memulainya dengan kuku tangan kanan, dimulai dari telunjuknya, lalu jari tengahnya, kemudian jari manis, menyusul kelingking dan yang terakhir ibu jari. Lalu dia memotong kuku tangan kirinya dengan memulainya dari kelingking dst..
Diriwayatkan dari Anas bin Malik dia berkata: " Telah diberi batasan waktu bagi kami, dalam hal mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, hendaknya kami tidak tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam."
Hadits di atas dapat dijadikan dalil terhadap larangan memanjangkan kuku dan membiarkannya tanpa dipotong. Hanya saja 40 hari itu merupakan waktu yang sangat lama untuk ukuran kuku, maka alangkah baik jika kuku tersebut dipotong setiap seminggu sekali atau sesuai dengan kebutuhan.

6. Mencabut bulu ketiak
Yang dimaksud dengan mencabut bulu ketiak adalah mencabut bulu yang ada di bawah ketiak. Namun bila ia dilakukan dengan cara mencukur atau dengan cara lain tidak mengapa, asalkan tercapai maksudnya dan apabila sesuai dengan sunah yang ada, maka itu lebih utama.
Diantara hikmah disunahkannya mencabut bulu ketiak dan bukan mencukurnya adalah jika bulu itu dicukur ia akan semakin kuat akarnya, dan apabila tumbuh akan semakin lebat. Sedangkan ketiak, jika banyak rambutnya dan semakin kuat akarnya, maka dia akan semakin bau dan mengganggu orang yang ada di dekatnya. Dengan demikian, maka sangatlah cocok jika ia dicabut saja sehingga akarnya menjadi lemah dan membuat bau ketiak melemah.

7. Menyela-nyela jemari terutama ketika berwudhu
8. Istinja' (menggunakan air setelah buang air besar atau buang air kecil untuk membersihkannya)
9. Berkhitan
10.Menghirup air ke hidung dan berkumur–kumur
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Author, yang dimaksud dengan berkumur-kumur (madhmadhah) adalah hendaknya seseorang memasukkan air ke dalam mulutnya, kemudian menggerak-gerakkan air itu, lalu disemburkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan memasukkan air ke hidung (istinsyaq) adalah memasukkan air ke hidung. Sedangkan istinsyar adalah mengeluarkan air dari hidung tersebut setelah istinsyaq.
Inilah sedikit penjelasan tentang sunah fitroh bagi seorang muslim. Semoga dengan sedikit pengetahuan ini menambah wawasan dan ilmu agar kita dapat melaksanakan syari'at-syari'atNya dengan baik. Wallahu Musta'an

Hukum Adzan Dan Iqomah Bagi Seorang Bayi

Sebagai seorang muslimah dalam mengarungi kehidupan sangatlah membutuhkan pemahaman dalil-dalil syar’i sebagai dasar dalam beramal. Tak lepas dari amal, maka seorang muslimah juga dituntut untuk mendakwahkannya kepada masyarakat. Karena sering kali kita dapatkan suatu amalan, namun kurang dalam pemahaman dalil yang digunakan sebagai dasar amal.
Sungguh suatu kebahagiaan jika kita mendapati kaum muslimin di dalam setiap aktivitas ibadahnya kepada Allah berlandaskan dalil, baik Al Qur’an maupun As-Sunnah, sehingga akan terhindar dari kesesatan dan kesalahan.

Tak ada satu pun seorang ibu sengaja lupa atau melewatkan hal-hal yang istimewa untuk menyambut kehadiran sang bayi. Dan salah satunya dengan mengadzani bayi di telinga kanannya dan mengiqomahi di telinga kirinya. Di satu sisi semua itu dilakukan agar bernilai ibadah di hadapan Allah dan mendapat pahala serta ridha-Nya. Di sisi lain diharapkan dengan adzan dan iqomah itu bisa melindungi anak dari gangguan syetan.
Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan kebanyakan kaum muslimin ketika mendapatkan karunia seorang bayi. Mereka mengamalkan hal itu berdasarkan pemahaman terhadap hadits yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la Al-Maushili dan Ibnu Sunni:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barang siapa dianugerahi anak kemudian ia adzan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin.” (HR. Abu Ya’la Al-Maushili dan Ibnu Sunni)
Menurut Ibnul Qayim dan Syeikh Al-Bani sanad hadits ini maudhu’, karena terdapat Marwan Bin Sulaiman. Namun, para ulama mensunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga kanan anak yang baru lahir dan iqomah pada telinga kirinya, dengan harapan agar Allah melindunginya dari Ummu Shibyan, yaitu salah satu pengikut jin.
Adapun hadits lain yang menunjukan sunnahnya adzan dan iqomah di telinga bayi adalah riwayat Abi Rafi’ :
عَنْ أبِي رَافِعٍ أنَّهُ قَالَ رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أذَّنَ فِيْ أذُنِ الحُسَيْنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ ) سنن أبي داود(
Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ ia berkata: “Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Husain ketika Fatimah melahirkannya. (Yakni) dengan adzan shalat.” (HR Abi Dawud).
Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini shahih dan hendaknya diamalkan dengan dasar hadits tersebut. Kemudian pensyarahnya, yakni Al-Mubarakafuri setelah menjelaskan kedha`ifan sanadnya dengan dasar pernyataan para ulama, berkata: Apabila ditanya: “Bagaimana mungkin dapat diamalkan sedangkan hadits itu dha`if?” Maka jawabannya: “dengan adanya riwayat-riwayat lainnya, salah satunya yaitu hadits dari Husain bin Ali, yang diriwayatkan oleh Abu Ya`la Al-Maushili dan Ibnu Sunni”. Namun yang dijadikan penguatnya pun juga dhoif sanadnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa hadits-hadits tersebut termasuk kategori dhoif (lemah).
Dilihat dari segi fadhilah dan keutamaannya, Sayyid Alawi al-Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il menyatakan bahwa mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri hukumnya sunnah. Para ulama telah mengamalkan hal tersebut tanpa seorang pun mengingkarinya.
Rahasia dan hikmah dari hal itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Dahlawi adalah:
 Adzan merupakan bagian dari syi’ar-syi’ar islam.
 Pemberitahuan tentang agama Muhammad.
 Mengkhususkan pengumandangan adzan pada bayi yang dilahirkan pada bagian telinganya.
 Di antara manfaat adzan adalah membuat setan lari.
Sedangkan Ibnul Qayim mengungkapkan tentang rahasia dari pengumandangan adzan ini adalah agar suara yang pertama kali didengar oleh seorang bayi adalah kalimat-kalimat yang mempunyai makna kebesaran dan keagungan Allah serta syahadat yang memasukkannya ke dalam agama Islam melalui talqin (pendiktean).
Setelah kita mengetahui uraian kedhoifan hadits-hadits di atas, yang mana keshohihan dari suatu periwayatan merupakan syarat diperbolehkan atau tidak untuk diamalkan, dan beberapa keutamaan dari adzan dan iqomah bagi bayi. Kemudian dihadapkan kepada realita yang terjadi di kalangan masyarakat. Bahwasanya amalan adzan dan iqomah bagi bayi ini sudah menjadi suatu keharusan atau masalah pokok yang tidak pernah terlalaikan bagi setiap orang tua.
Namun demikian, terjadi perbedaan ulama dalam hal beramal dengan hadits yang dhoif :
1. Pendapat pertama: Tidak boleh sama sekali beramal dengan hadits dhoif, tidak dalam hal keutamaan ataupun hukum. (Pendapat Yahya bin Ma’in, Abu Bakar al ‘Arobi, Imam Bukhori dan Muslim dan juga Ibnu Hazm)
2. Pendapat Kedua: Dibolehkan beramal dengan hadits dho’if. (pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad)
3. Pendapat Ketiga: Dibolehkan beramal dengan yang dhoif dalam hal-hal keutamaan, nasehat-nasehat dan yang sejenisnya selama memenuhi persyaratan. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul islam Ibnu Hajar yaitu :
1. Dhoifnya tidak keterlaluan.
2. Termasuk dalam pokok-pokok yang diamalkan.
3. Tidak meyakini bahwa amal itu betul-betul terjadi akan tetapi meyakini secara hati-hati.
Dari beberapa pendapat dan pertimbangan yang ada, baik dari segi periwayatan maupun keutamaan, para ulama menghukumi amalan ini merupakan sesuatu yang sunnah karena beberapa keutamaannya. Walaupun dari segi sanadnya dhoif, namun terdapat lebih dari tiga periwayatan hadits mengenai masalah ini. Wallahu a’lam bishowab

Reference:
 Fiqhunnisa’,
 Fiqh sunnah linnisa’
 Mendidik Anak Bersama Nabi, Muhammad Suwaid
 Sunan Abu Dawud.
 Berbagai Sumber

Kamis, 11 Maret 2010

SEPUTAR HUKUM ANTARA WANITA DAN PARFUM

Keadaan umat manusia seluruhnya, utamanya kaum hawa khususnya pada zaman ini memang sangat memprihatinkan, semakin jauhnya umat manusia dari zaman keemasan (zaman Rasulullah) menjadikan mereka juga semakin jauh dengan syariat Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang sebenarnya menjadi musykil bagi setiap orang yang menjumpai zaman akhir seperti kita ini, di mana kebenaran dianggap kesalahan, dan kesalahan dianggap kebenaran!!!
Di antara bentuk kerusakan yang telah nampak di muka bumi ini adalah para wanita yang tersebar di seluruh penjuru dunia bahkan ke pelosok-pelosoknya dengan kebanggaannya memamerkan semua keindahan yang dimilikinya. Menampakkan diri di hadapan lawan jenisnya, berkumpul dengan mereka dan melakukan hal-hal yang sia-sia pun merupakan hobby yang paling ia gemari, tak pandang apakah itu diperbolehkan atau tidak, yang jelas ada kepuasan tersendiri baginya dan bagi orang-orang di sekelilingnya. Naudzu billah min dzalik...
Hal ini jelas sangat berlawanan dengan perintah Allah yang memerintahkan kepada kita untuk tidak mendekati zina, menjauhi sebab-sebabnya, juga menjaga aurat kita dan menutupnya dengan serapat-rapatnya. Maka dalam hal ini, kami akan mencoba sedikit membahas tentang sebuah larangan Syar’i “TABARRUJ” yang nampaknya telah banyak dianggap remeh oleh sebagian wanita walaupun ia telah paham agama.
Berbicara masalah TABARRUJ maka istilah ini nampaknya telah tak asing lagi di telinga kita, bahkan mungkin telah sangat familiar bagi kita. Kita telah mengetahui hukum asal tabarruj ini, namun ternyata benyak di kalangan kita yang terlalu meremehkan syari’at yang hikmahnya sangat agung ini.
1. HUKUM TABARRUJ
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman,
وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
"Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu". (QS. Al-Ahzab: 33)
Mujahid berkata, "Wanita yang keluar rumah lalu berjalan dihadapan laki-laki yang bukan mahromnya maka ia telah bertabarruj (bersolek) dengan tabarruj jahiliyah.”
Tabarruj adalah menampakkan keelokan tubuh, kecantikan wajah dan pesonanya. Atau seperti kata Imam Bukhari, “Tabarruj adalah perbuatan wanita yang memamerkan segala kecantikan yang dimilikinya.”
Sedangkan Qatadah berkata, "Kaum wanita memiliki kesenangan berjalan-jalan dan bersikap genit. Dan Allah Azza wa Jalla melarang semuanya itu."
2. SYARAT BUSANA MUSLIMAH
a. Harus menutup seluruh tubuhnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
b. Bukan merupakan perhiasan dalam dan dari pakaian itu sendiri
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga orang yang jangan menanyakan tentang mereka kepadaku: seorang laki-laki yang meninggalkan jama’ah, tidak menuruti pemimpinnya dan mati dalam ketidaktundukan; seorang budak wanita atau pria yang melarikan diri kemudian meninggal; dan wanita yang suaminya tidak ada dan meninggalkannya. Setelah suaminya pergi ia memamerkan dirinya. Maka jangan tanya tentang mereka.”
c. Harus tebal dan tidak transparan atau “tembus pandang”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Pada akhir zaman di antara ummatku akan ada wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang dengan sesuatu di kepalanya seperti punuk unta. Kutuklah mereka, karena mereka terkutuk.” Hadits lain menambahkan, ”Mereka tidak akan masuk ke surga, meskipun baunya dapat tercium dari jarak begini dan begini.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
صنفان من أهل النار لم أرهما قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس و نساءكاسيات عاريات مائلات مميلات رؤوسهن كأسنام البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها إن ريحها ليوجد من مسيرة كذا و كذا . ( رواه المسلم )
“Dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah aku lihat yaitu suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok jalannya dan mengajarkan wanita berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginnya walaupun wanginya tercium selama perjalanan ini dan ini jauhnya.” (HR.Muslim)
d. Harus longgar, tidak ketat sehingga membentuk bagian tubuh
Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberiku sebuah kain Mesir tebal yang merupakan salah satu hadiah yang diberikan kepada beliau oleh Duhyat al-Kalbi dan saya memberikannya kepada istri saya untuk dipakai. Beliau berkata, ‘Mengapa saya tidak melihat kamu memakai kain Mesir itu?’ Saya berkata, ‘Saya memberikannya kepada istri saya untuk dipakai.’ Beliau berkata, ‘Beritahukan kepadanya untuk memakai sebuah gaun di bawahnya, sebab saya khawatir itu akan menggambarkan ukuran tulang-tulangnya.”
e. Tidak menggunakan parfum dengan bakhoor atau harum-haruman
Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الآخرة
“Setiap wanita yang mengharumkan dirinya dengan bakhoor (wangi-wangian), janganlah ia shalat Isya dengan kami.”
f. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Abu Hurairah berkata,
لعن النبي الرجل يلبس لبسة المرأة , و المرأة تلبس لبسة الرجل ( روا ه أبو داود و النسائ )
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengutuk laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.”
g. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
من تشبه بقوم فهو منهم
“ Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari mereka.”
h. Bukan merupakan pakaian untuk ketenaran dan kesombongan
Ibn ‘Umar -rahimahullah- berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Siapapun yang memakai pakaian ketenaran dan kesombongan di dunia ini, maka Allah akan memakaikannya pakaian dari neraka pada Hari Kebangkitan dan itu akan membakar sekelilingnya.”

3. PARFUM BAGI WANITA
Banyak hadits yang melarang kaum wanita untuk memakai parfum setiap keluar dari rumah-rumahnya. Di sini kami akan mengemukakan beberapa hadits yang mempunyai isnad sahih.:
1. Abu Musa al-Ash’ari mengatakan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengatakan,
( إذا استعطرت المرأة فمرت على القوم ليجدوا ريحها فهي كذا وكذا , قال قولا شديدا ) و في لفظ (فهي زانية) رواه أبو داود
“Siapa saja wanita yang memakai parfum kemudian melewati sekelompok orang sehingga mereka mencium baunya, maka ia demikian dan demikian.” Maksudnya adalah pelacur.”
2. Zainab Ath-Thaqafiyyah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian (wanita) keluar ke masjid, jangan ia menyentuh parfum.”
3. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
أيما امرأة أصابت بخوراً فلا تشهد معنا العشاء الأخرة
“Setiap wanita yang mengharumkan dirinya dengan bakhoor (wangi-wangian) janganlah shalat Isya dengan kami.”
4. Musa ibnu Tassar mengatakan bahwa seorang wanita dilewati oleh Abu Hurairah dan tercium wanginya. Ia berkata, “Hai wanita budak Al-Jabbaar, apakah kamu akan ke masjid?” Ia berkata, “Ya.” Abu Hurairah berkata, “Dan apakah kamu memakai parfum karenanya?” Ia berkata, “Ya.” Abu Hurairah berkata, “Kembalilah dan cucilah dirimu, karena saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ‘Apabila seorang wanita menuju ke masjid dan wanginya tercium, Allah tidak akan menerima shalat apapun dari dia hingga ia pulang ke rumahnya dan mencuci dirinya.”
Hadist-hadist ini pengertiannya umum. Bukan hanya sebagai penghalang untuk memakai parfum di tubuh, akan tetapi juga menghalangi parfum untuk digunakan pada pakaian.
Dalam hadits ketiga disebutkan bakhoor (wangi-wangian). Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif menerangkan, yang disebut bakhoor adalah wewangian yang menyengat baunya. Ulama lain mengatakan bakhoor adalah wangi-wangian yang digunakan secara khusus sebagai parfum untuk pakaian.
Alasan terhadap larangan/penghalang ini cukup jelas, dimana wangi/bau harum wanita tersebut dapat mengakibatkan dorongan-dorongan keinginan yang tidak sepantasnya.
Dalam menerangkan hal ini, Al-Allamah Al-Mubarakfuri Rahimahullahu mengatakan, "Yang demikian disebut berzina karena wangi-wangian yang dikenakan wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki dan menarik perhatian mereka. Laki-laki yang melihatnya berarti telah berzina dengan mata dan dengan demikian wanita itu telah melakukan perbuatan dosa".
Para ulama juga memasukkan hal-hal lain yang harus dihindari oleh wanita yang ingin pergi ke masjid, seperti pakaian yang indah, perhiasan yang dapat dilihat, ornamen/perhiasan yang berlebih-lebihan dan bercampur dengan laki-laki.
Ibn Daqiiq al-‘Ied mengatakan: Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut dilarang bagi wanita yang ingin pergi ke masjid untuk memakai parfum, sebab hal ini dapat mengakibatkan dorongan bagi laki-laki.”
Pada dasarnya, parfum merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. Secara mutlak diperbolehkan bagi orang laki-laki dan disunnahkan pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan bagi wanita diberikan keringanan untuk memakainya. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid maka janganlah menyentuh wangi-wangian.” (HR. Muslim)
Dalam hadits-hadits dari Rasulullah, dapat diketahui bahwa beliau hanya melarang seorang wanita untuk memakai wangi-wangian ketika hendak keluar rumah, bukan larangan memakai wangi-wangian bagi wanita secara mutlak.
Zainab binti Abi Salamah menceritakan, “Aku pernah mendatangi Ummu Habibah, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat ayahnya, Abu Sufyan bin Harb meninggal dunia, dia meminta diambilkan minyak wangi yang berwarna kuning, lalu seorang hamba sahaya wanita memakaikan dan mengusapkan ke jambangnya, kemudian berkata, "Demi Allah, sebenarnya aku tidak membutuhkan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم للاخر تحد على ميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشراً
"Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".
Selanjutnya Zainab berkata, "Kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy pada saat saudaranya meninggal, lalu dia mengambil minyak wangi dan memakainya, kemudian berkata, "Demi Allah, sebenarnya aku tidak membutuhkan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم للاخر تحد على ميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشراً
"Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".
Semua hadits di atas secara jelas membolehkan wanita memakai wangi-wangian walaupun tidak mutlak.
Menjadi fenomena di kalangan wanita pada umumnya adalah keluarnya mereka dari rumah dengan menggunakan parfum yang wanginya menjelajahi seluruh ruang. Sehingga menjadikan laki-laki lebih tergoda karena umpan wewangian yang menghampirinya.
Sebagian wanita melalaikan dan meremehkan masalah ini, sehingga dengan sembarangan mereka memakai parfum. Tak peduli di sampingnya ada sopir, pedagang, satpam atau orang lain yang mustahil tidak akan tergoda, ditambah keelokan pakaiannya, wajahnya, rambutnya yang telah ia tata sedemikian rupa. Maka dalam hal ini, syari’at Islam amat keras. Perempuan yang terlanjur memakai parfum, jika hendak keluar rumah ia diwajibkan mandi terlebih dahulu seperti mandi janabat, meskipun tujuan keluarnya ke masjid atau acara-acara keislaman yang lainnya.
Rasulullah bersabda,
أيما امرأة تطيبت ثم خرجت إلى المسجد ليوجد ريحها لم يقبل منها صلاة حتى تغتسل اغتسالها من الجنابة
“Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid dengan tujuan agar wanginya tercium orang lain, maka sholatnya tidak diterima sehingga ia mandi sebagaimana mandi janabat.” (HR. Ahmad)
Syari’at Islam memberikan batasan bahwa parfum wanita muslimah adalah yang tampak warnanya dan tidak semerbak baunya. Sebagaimana Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
طيب الرجال ما ظهر ريحه وخفي لونه، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه) رواه الترمذي والنسائي(
“ Wangi-wangiannya laki-laki adalah yang nampak baunya dan tersembunyi warnanya, sedangkan wangi-wangiannya wanita adalah yang ada warnanya dan tidak ada baunya.”

4. BEBERAPA MACAM HUKUM PARFUM BAGI WANITA
1. Waktu Wajib
Hukum memakai wangian wajib bagi wanita, yaitu ketika suami ada di rumah, khususnya ketika hendak melayan suami di waktu malam, hendaklah mereka terlebih dahulu memakai wangi-wangian dan jika selain daripada tujuan tersebut maka tidak diwajibkan.
Nabi bersabda, yang artinya:
“Sebaik-baik wanita (isteri) ialah jika kamu (suami) memandang kepadanya sentiasa menyenangkan hati kamu…” ( An-Nasa’i dari Abu Hurairah)
Maksud menyenangkan hati ialah dalam semua segi. Dari segi akhlak, wajah dan dirinya sentiasa berhias dan bersolek, senantiasa berbau wangi di rumah dan di hadapan suami, semuanya termasuk perkara yang menyenangkan suami. Tetapi untuk keluar rumah, wanita dilarang bahkan haram bersolek dan mengenakan wangi-wangian.
2. Waktu Sunnah
- Ketika berada di dalam rumah, lebih-lebih lagi ketika berhadapan dengan suami.
- Ketika hendak sholat dan beribadah di dalam rumah dan bukan di masjid. Kalau hendak ke masjid maka terdapat hadist yang melarang wanita memakai wangian.
- Ketika menyambut tamu wanita, maka sunnah memakai wangian karena jika dalam keadaan bau tidak sedap kemungkinan bisa menyakiti perasaan tamu.
Terdapat sabda nabi yang menjelaskan bahawa wanita juga dianjurkan memakai wangian, tetapi tidak di waktu yang dilarang. Sabda Nabi S.A.W :
طيب الرجال ما ظهر ريحه وخفي لونه، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه) رواه الترمذي والنسائي(
“Wangian lelaki ialah yang jelas baunya dan tersembunyi warnanya. Sementara wangian wanita ialah yang jelas warnanya dan tersembunyi baunya.”
3. Waktu Makruh
Hukum berwangi-wangian ketika puasa adalah makruh.
Hal ini telah disepakati oleh ulama’ dan terdapat penjelasan di dalam bab puasa. Kenyataan ini dipegang oleh Imam Syafi’i dan Qaliyubi bahwa makruh memakai wangian ketika puasa.

4. Waktu Haram
Diharamkan bagi wanita memakai wangian ketika keluar rumah, di hadapan lelaki bukan mahram dengan tujuan memikat lelaki, ketika ke masjid untuk sholat berjemaah, dan ketika masa berkabung.
Sebagaimana sabda nabi S.A.W yang artinya:
“ Seorang wanita apabila memakai wangi-wangian, kemudian keluar melalui suatu kaum dalam suatu majlis yang ada lelaki bukan mahramnya, maka wanita tersebut seperti orang yang melakukan zina.”

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, Nabi saw bersabda,
"Apabila seorang wanita hendak keluar ke masjid (dalam keadaan dirinya berwangian), maka hendaklah dia mandi (membersihkan) dari wangian itu sebagaimana dia mandi dari janabah." (Hadits riwayat an-Nasai dan dihasankan oleh al-Albani di dalam sahih sunan an-Nasai)
Secara singkatnya, wanita Muslimah hanya diberikan keringanan untuk memakai wangi-wangian di dalam rumah dengan syarat tidak tercium oleh orang-orang yang bukan mahromnya, karena wangi-wangian itu dapat membangkitkan nafsu birahi dalam diri mereka (para lelaki ajnabi), selain karena wangi-wangi itu juga termasuk perhiasan yang apabila diperlihatkan akan mamancingkan timbulnya perzinaan. Wallahu a’lam.

Sabtu, 30 Januari 2010

Saat Ku Pening

Ketika pening melanda.. deadline tugas membayang di depan mata.. kantuk memberatkan mata.. badan sudah merebah di atas pembaringan seadanya.. tiba- tiba ku dikejutkan dengan sapaan di kolom chat.. “thuk..”
Sebuah nama dari teman baruku muncul menyapa. Basa- basi sebentar mencairkan suasana. Ku bagi permasalahanku padanya. Meringankan beban otak ini agar tidak meletup karena tegang.

Sampai akhirnya mucul suatu pertanyaan yang mungkin setiap kita bingung menjawabnya. “ Kamu thuw pinternya apa ?? “

Berabad- abad lamanya kekuatan hapalan menjadi patokan nilai cerdasnya seseorang. Hingga pada tahun 1987 Howard Gardner mengungkap kembali adanya bentuk- bentuk kecerdasan yang lain. Ups.. mungkin ada yang bertanya kenapa ku pakai kata “mengungkap kembali” ??. percaya tidak percaya.. multiple intelligence telah ditemukan berabad- abad yang lampau oleh Rasul kita tercinta.

Pernah tahu siapakah bilal bin Rabbah ??. seorang budak berkulit hitam. Yang pastinya setiap orang bisa menduga bahwa dia memiliki tingkat inteligensi yang pas- pasan. Dan yang menjadi suatu kekaguman bahwa Rasulullah sendiri tidak memaksakan kehendak kepada Bilal bin Rabbah untuk menjadi seorang ulama’ dengan berjuta- juta dalil di kepalanya. Tapi Rasulullah yang dengan jeli memandang sisi intelegensi Bilal menempatkannya pada posisi seorang muadzin.

Usaid bin hudair.. sebuah nama sahabat yang sungguh sangat asing di telinga kita. Tapi beliau mengalami kejadian luar biasa. Beliau membuat takjub para malaikat dengan indahnya bacaan beliau. Hingga Rasulullah bersabda “Jikalau engkau lanjutkan bacaanmu, manusia akan menyaksikan malaikat dengan mata telanjang”. Rasulullah tidak jarang memuji beberapa sahabatnya agar memperbagus bacaan Al- Qur’annya, termasuk di dalamnya sahabat Usaid bin Hudair ini sendiri. Tanpa memaksa mereka melakukan bentuk- bentuk kecerdasan lainnya.

Andai teman- teman ada kesempatan dan menyempatkan untuk menelaah sirah- sirah para sahabat. Kita akan mendapati betapa Rasulullah benar- benar tahu betul kecerdasan- kecerdasan model apa yang dimiliki tiap sahabatnya. Ada sahabat yang memiliki kecerdasan dibidang bahasa maka Rasul mengutusnya untuk mendalami bahasa- bahasa asing. Ada sahabat yang cenderung kepada kecerdasan bodi- kinestetik Rasulullah memberinya tugas pada posisi yang tepat.

Keberhasilan dan kejayaan Islam tak lepas dari keberhasilan Rasulullah dalam mengidentifikasi kecerdasan para sahabatnya. Hingga pada akhirnya Rasulullah bisa menempatkan orang yanga tepat pada tempat yang tepat. Subhanallah..

Akhirnya.. ku berterimakasih pada seorang teman yang menyadarkanku pada hal ini. Kekagumanku pada Rasulullah semakin bertambah melalui sumbangsihnya (meskipun dia bilang ga sadar..^_^). Cobalah mencari letak kecerdasanmu. Agar bisa mengoptimalkan kemampuanmu.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Pada 5 November 2009, saya mendapat undangan untuk berbicara dalam sebuah seminar di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seminar bertema ”Islam dan Tantangan Pemikiran Global” itu diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pesantren Modern Gontor cabang Lombok. Seminar dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Zainul Majdi. Turut memberikan sambutan adalah pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan Tuan Guru Sofwan Hakim, ketua Forum Kerjasama Pesantren se-NTB. Seminar dihadiri sekitar 300 pimpinan dan guru-guru pesantren se- NTB. Tim pembicara dari INSISTS dipimpin oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.

Tampaknya, bagi para ulama dan tokoh Islam di NTB, isu liberalisasi Islam sudah cukup akrab dengan mereka. Mereka mengakui, sejumlah masalah yang dibahas dalam seminar sudah terjadi juga di daerah mereka, meskipun dalam skala yang belum masif seperti di sejumlah kota di Pulau Jawa. Salah satu masalah yang sudah mulai dilontarkan kaum liberal di NTB adalah soal ”Desakralisasi al-Quran.” Ada seorang tokoh yang mengaku sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa IAIN Mataram, yang bertanya kepadanya: ”Apakah al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?”

Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”

Dalam seminar di NTB, isu ”desakralisasi al-Quran” memang disinggung juga oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Gubernur NTB yang juga kandidat doktor ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, bahkan menguraikan cukup panjang sejarah serangan kaum orientalis terhadap Islam, termasuk terhadap al-Quran. Ia menunjukkan sejumlah contoh kesungguhan dan kesabaran para orientalis dalam menyerang Islam. ”Sehingga dalam pertarungan ini, siapa yang lebih sabar yang akan menang,” ujarnya seraya mengajak para peserta seminar untuk meningkatkan kesabaran dalam berjuang.

Proyek ”desakralisasi al-Quran” memang termasuk salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci. Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan al-Quran. Dia mencoba meyakinkan, bahwa al-Quran adalah kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapatkan imbalan tertentu di dunia.

Pikiran semacam ini tampaknya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam saat ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan, "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.”

Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!” Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

Mengapa kaum liberal giat dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi al-Quran”, bahwa al-Quran bukanlah kitab suci? Ternyata, jika kita cermati, tujuan mereka adalah ingin memberikan legitimasi terhadap masuknya berbagai metode penafsiran al-Quran, di luar ilmu Tafsir al-Quran. Dengan meletakkan posisi al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman al-Quran yang baru, seperti hermeneutika.

Di NTB itulah, saya lebih berkesempatan membaca sebuah buku berjudul Arah Baru Studi Ulum al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Sebut saja inisialnya ”AW”. Tesis master dosen ini juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, yang juga menolak kesucian al-Quran. Buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, semakin menegaskan, adanya kecenderungan dan gerakan penghancuran ulumul-Quran para ulama Islam, digantikan dengan teori-teori ilmu sosial para ilmuwan Barat. AW sangat getol dalam mempromosikan penggunaan hermeneutika untuk – katanya – memahami pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani. Seperti biasa, para pengguna hermeneutika biasanya melakukan proses desekralisasi teks al-Quran. Itu pula yang dilakukan dosen STAIN ini. Simaklah pandangan penulis tentang al-Quran berikut ini:

”Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an, dan Mushaf Usmani. Ketiganya adalah tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi al-Quran dan Mushaf Usmani. Hal itu terjadi, bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan karena keterbatasan Bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.” (hal.vii).



Saya sangat prihatin dan sekaligus kasihan membaca berbagai uraian dalam buku ini. Sebab, buku ini ditulis oleh seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya. Selain disebarkan melalui tulisan, dosen ini tentu juga mengajarkan pemikirannya kepada para mahasiswanya. Banyak sekali kekacauan dan kerancuan pemikirannya, yang tentu saja memerlukan terapi yang sangat serius. Marilah kita lihat contoh-contoh kekacauan berpikir dosen yang dinyatakan lulus doktornya di UIN Yogya dengan predikat cum laude ini. Dia menulis sebagai berikut:

”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai agen tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab memilih lafaz dan makna tertentu yang mampu memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Implikasinya, teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori interpretasi lain yang dinilai mampu menemani tafsir, sehingga yang terungkap bukan hanya pesan pemilik bahasa,tetapi juga pesan Tuhan. Hermeneutika tampaknya bisa menjadi mitra tafsir guna mengungkap pesan Tuhan di balik Bahasa Arab sebagai fenomena budaya.” (hal.viii).



Sekilas saja, kita bisa menilai, bahwa kata-kata si dosen STAIN itu sebenarnya asbun (asal bunyi). Tuduhan bahwa Ilmu Tafsir selama ini tidak mampu menangkap pesan Allah dalam al-Quran adalah suatu bentuk pernyataan asal-asalan. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan si dosen ini ”sakit jiwa”, sebab bisa meraih gelar doktor dari UIN Yogya dengan predikat cum laude dan bisa menulis banyak buku. Tetapi, yang jelas, selama 1400 tahun lebih, umat Islam di seluruh dunia telah memahami al-Quran dengan menggunakan Ilmu Tafsir dan tidak menggunakan hermeneutika. Lalu, tiba-tiba di ”zaman edan” ini muncul ”pemikir luar biasa hebat” dari UIN Yogya yang dengan gagah berani menyimpulkan:

”teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun.”



Karena berlagak menjadi mujtahid besar itulah maka pengguna hermeneutika -- seperti penulis buku ini -- lalu bersikap sok hebat dan merendahkan martabat, keilmuan, dan keikhlasan Khalifah Usman bin Affan serta para ulama Islam terkemuka. Tapi, ironisnya, pada saat yang sama, kaum liberal juga sangat hormat dan bertaklid buta begitu saja kepada Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Farid Essac, Paul Ricour, Fazlur Rahman, Hegel, dan sebagainya.

Simaklah sejumlah ungkapan AW tentang Mushaf Usmani berikut ini: ”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)... ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)...”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).

Begitulah pandangan doktor UIN Yogya yang sangat merendahkan martabat Sayyidina Utsman bin Affan dan menistakan al-Quran. Sebenarnya, jika AW mau mengungkapkan berbagai penjelasan dalam kitab Ulumul Quran, maka dengan mudah ditemukan penjelasan seputar tindakan Khalifah Utsman r.a. yang sangat mulia dan luar biasa besar jasanya dalam kodifikasi Mushaf al-Quran. Tapi, dia lebih percaya kepada pendapat-pendapat orientalis yang memberikan berbagai tuduhan dan sangkaan terhadap Khalifah Utsman r.a., menantu Rasulullah saw, dan termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw.

Tindakan Sayyidina Utsman itu pun sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.

Kajian terakhir yang menyudutkan Mushaf Usmani, misalnya datang dari seorang orientalis Kristen Jerman (berasal dari Lebanon) yang menggunakan nama samaran Christoph Luxenberg. Sebagaimana para pendahulunya, Luxenberg juga menggugat al-Quran sebagai “wahyu” yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Ia mencoba menggugurkan keyakinan kaum Muslim bahwa al-Quran adalah “tanzil”, “suci”, bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran (QS 15:9). Menurut Luxenberg -- dengan melakukan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam al-Quran Arab yang diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac -- Al Qur'an yang ada saat ini (Mushaf Utsmani) adalah salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks asli Al Qur'an, simpulnya, lebih mirip bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah asli itu telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan. Dengan kata lain, al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim saat ini, bukanlah wahyu Allah SWT, melainkan akal-akalan Utsman bin Affan r.a.

Lunxenberg – seperti banyak orientalis lainnya – mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melakukan kodifikasi al-Quran. Ia menduga, teks al-Quran yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang sekarang ini. Tuduhan semacam ini sama sekali tidak beralasan, sebab proses kodifikasi al-Quran di zaman Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan al-Quran selalu diingat oleh ratusan, ribuan – bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh kaum Muslim.

Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu seperti yang dilakukan doktor UIN Yogya itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit pun, AW menulis: ”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).

Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad saw, dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih. Adab seperti inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.

Apalagi, faktanya, doktor UIN Yogya ini juga sama sekali tidak bersikap kritis ketika mengutip pendapat-pendapat para orientalis dan pemikir liberal. Ia menolak pemahaman bahwa lafaz dan makna al-Quran (Mushaf Utsmani) berasal dari Allah, sehingga bersifat sakral (suci), dan membacanya dalam bentuk tartil pun dinilai sebagai membaca wahyu Allah dan si pembaca mendapatkan pahala. Menurut sang doktor UIN Yogya tersebut, yang sakral dari Mushaf Utsmani hanyalah maknanya, sementara lafaznya tidak sakral. ”Namun demikian, lafadznya, sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan membaca di sini adalah dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu terdapat dalam bahasa yang profan, maka diperlukan alat apa saja yang secara metodologis absah digunakan dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.” (hal. 184).

Membaca pemikiran doktor cum laude dari UIN Yogya ini, tentu wajar jika selama ini kita mempertanyakan, mengapa penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran terus digalakkan di Perguruan Tinggi Islam. Tampak jelas, bagaimana pemikiran sang doktor ini dalam menistakan al-Quran, para sahabat Nabi Muhammad saw, dan para ulama Islam yang sangat kredibel. Kita bisa melihat bagaimana tendensiusnya kajian yang mempromosikan hermeneutika sebagai metode alternatif dalam penafsiran al-Quran. Kajian semacam ini jauh dari sikap ilmiah yang bermutu. Maka, adalah aneh, ketika seorang guru besar di UIN Yogya, Prof. Dr. Hamim Ilyas, membuat kriteria bahwa salah satu ciri kaum fundamentalis adalah menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran.

Mengapa muncul kegilaan pada hermeneutika dan penistaan Ilmu Tafsir pada sebagian akademisi di Perguruan Tinggi Islam? Kita menemukan jawabannya pada artikel Dr. Syamsuddin Arif di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd”:

“Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat… Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.”



Dan memang faktanya, para pengguna hermeneutika dan pengecam Tafsir al-Quran, hingga kini tidak pernah mampu membuat satu Tafsir al-Quran pun. Sebab, tampaknya, ”maqam” mereka baru sampai pada tahap merusak dan hanya isapan jempol belaka, jika diangggap para hermeneut ini mampu menciptakan metode Tafsir al-Quran baru yang sanggup menandingi kehebatan Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya. Bahkan, tampak jelas, buku karya doktor UIN Yogya ini pun tidak menunjukkan contoh, bagaimana metode dan model Studi al-Quran yang baru dan hebat.
Kita yakin, al-Quran ini Kalamullah. Al-Quran adalah milik Allah. Dan pasti, Allah yang menjaganya dari berbagai upaya untuk merusaknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang tahu diri! Tidak patut burung emprit berlagak seperti burung elang. Wallahu a’lam.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Metode Penafsiran

1. Tafsir Bil Ma"tsur (Riwayah)

Metode penafsirannya terfokus pada Shohihul Manqul (riwayat yang shohih)? dengan menggunakan penafsiran al-Qur?an dengan al-Qur?an, penafsiran al-Qur?an dengan sunnah, penafsiran al-Qur?an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur?an dengan perkataan para tabi?in. Yang mana? sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :

- Tafsir At-Tobary ((جامع البيان في تأويل أى القران) terbit 12 jilid

- Tafsir Ibnu Katsir (تفسير القران العظيم) dengan 4 jilid

- Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )

- Tafsir Imam As-Suyuty (الدر المنثور في التفسير بالمأثور ) terbit 6 jilid.


2. Tafsir Bir Ra'yi (Diroyah).

Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Pertama : Ar-Ro'yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:

(1) Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur'an dan as-sunnah

(2) Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma'tsur

Seorang? mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini? diantaranya :

- Tafsir Al-Qurthuby (الجامع لأحكام القران )

- Tafsir Al-Jalalain (تفسير الجلالين)

- Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل).



Kedua : Arro'yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela/ dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid?ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur?an sesuai dengan keyakinannya? untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:

- Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون? الأقاويل في وجوه التأويل)

- Tafsir? Syiah Itsna Asyariah seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني )? danمع البيان لعلوم القران? لأبي الفضل الطبراسي

- Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي??? و? عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي???



SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR'AN


Untuk bisa menafsirkan al-Qur?an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:

(1) Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur?an.

(2) Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.

(3) Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur?an seperti penafsiran dengan al-Qur?an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi?in.

(4) Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur?an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata;? ?Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur?an) jikalau tidak menguasai bahasa arab?.

(5) Memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari?ah,

(6) Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur?an seperti ilmu Nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-Ma?ani, al-Bayan, al-Badi?, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur?an), aqidah shahihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.

Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :

1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim di awal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba?in nya).

2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain

3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.

4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.

5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.

6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Para cendekiawan liberal tidak lagi hanya berhadapan dengan “dakhîl” tafsir berupa tawaran menyesatkan tapi juga “dakhîl’ yang menyerang eksistensi Al-Qur’an. Inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah sebagai tafsir “tercela”. [edisi kedua, habis]

Oleh: Fahmy Salim, LC *


Menurut Ibnu Taimiyah, ada tiga bentuk penyelewengan tafsir; Pertama, kesalahan dalam pemahaman ‘dalil’ (penanda) dan ‘madlûl’ (petanda). Penyimpangan ini sering terjadi karena sebagian mufasir memiliki preyudis dalam memahami pokok-pokok kepercayaan kemudian mengkatrol Al-Qur’an sebagai pembenarannya dan untuk mendukung hal itu dia menafsirkan redaksi Al-Qur’an agar sesuai dengan kehendaknya. Adigium ‘Ja’l al-Qur’ân Tâbi’an wa al-Mazhab Matbû’an’ cocok dengan kondisi ini. Kekeliruan ini sering dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan yag sesat.

Kedua, kesalahan dalam memahami ‘dalil’ saja. Bisa jadi seorang mufasir ketika memahami sebuah ayat berhasil menghimpun makna dan pemahaman yang benar akan tetapi teks Al-Qur’an tidak menunjukkan kepada pemahaman tersebut. Hal ini sering dialami oleh penafsiran esoterisme sufi.

Ketiga, kesalahan yang diakibatkan oleh kekakuan memahami arti-arti konvensional suatu kata dalam Al-Qur’an tanpa memperhatikan konteks pembicaraannya. Karena kosakata Arab yang digunakan Alquran telah kehilangan maknanya yang lama dan mengandung pengertian baru. Atau terulangnya suatu kata di beberapa tempat dalam Al-Qur’an yang masing-masing memiliki arti yang berbeda. Sehingga ketiga corak penyimpangan tersebut dapat menafikan sesuatu yang pada dasarnya dikehendaki oleh Alquran atau sebaliknya mengafirmasi sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendakinya.

Antara Harmonisasi Wahyu dan Akal

Ibnu Taimiyah mengembangkan ide pembatalan dualisme yang santer didengungkan mengenai adanya polarisasi antara Naql dan ‘Aql. Beliau menepis persengketaan antara wahyu Tuhan dan akal manusia. Ini bisa dibaca dalam karya-karyanya; Dar’u Ta’ârudl al-‘Aql wa al-Naql, al-Nubuwwât, Ma’ârij al-Wushûl dan lain-lain.

Beliau sampai pada kesimpulan bahwa korelasi antara keduanya bersifat ‘ekuivalen’ (talâzum) dengan mengintegrasikan akal ke dalam pengertian syari’at untuk menghindari klaim permusuhan tersebut. Dengan cara itu beliau mampu menghindari ‘rasionalisme’ Mu’tazilah dan ‘skripturalisme’ ahli hadis kepada apa yang bisa kita sebut sebagai “Rasionalisme Legal” (‘Aqlâniyyah Syar’iyyah) atau sebaliknya.

Dengan ide ini sebenarnya beliau telah jauh melampaui gagasan al-Ghazâlî dan Ibnu Rusyd dalam upaya keduanya mempertemukan agama dan filsafat yang masih terkesan setengah hati. Berangkat dari sini beliau menolak paradigma alternatif yang disodorkan ahli kalam dalam mengolah akidah dan konsepsi Islam yang memarginalkan metode penarikan kesimpulan Al-Qur’an yang legal dus rasional, serta tidak mentolelir hilangnya kekhasan metode Al-Qur’an. Sehingga metode ta’wîl, ta’thîl (disrupsi) dan tasybîh (antropomorphisme) tidak mendapat tempat dalam kerangka keilmuan Ibnu Taimiyah.

Di saat yang sama ia memperingatkan bahaya skripturalisme ahli hadis yang, menurutnya, tidak berusaha mengungkapkan bukti-bukti rasional dalam mengafirmasi konsep-konsep teologis, profetik dan eskatologis. Hal ini, dalam pandangannya telah menjadikan keimanan terhadap Rasul sebagai sesuatu yang besemayam di dalam hati tanpa perlu pembuktian yang absah. Jadi jelaslah bahwa konvergensi akal dan wahyu menjadi titik berat perhatiannya dalam mengupas problem keagamaan yang diuraikan oleh Al-Qur’an.

“Pembuktian terhadap kebenaran dengan penciptaan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna adalah metode rasional yang legal. Ia legal karena Al-Qur’an yang menujukkannya kepada manusia dan mengarahkannya. Dus rasional karena eksistensi manusia yang tadinya nihil menjadi ada melalui proses nuthfah, ‘alaqah dan seterusnya hanya dapat diketahui melalui pembuktian empiris dan rasional, terlepas dari nuktah-nuktah agama mengabarkannya atau tidak? Banyak kalangan yang bertikai melupakan metode ini. Allah berfirman “Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran kami di alam raya dan dari diri-diri mereka sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Alquran itu benar” (Q.s. Fusshilat: 53), seterusnya penggalan ayat itu berbunyi “Tidakkah cukup dengan Tuhanmu sebagai saksi ata segala sesuatu?”. Jadi di sana diterangkan bahwa tanda-tanda kebesaran yang diperlihatkan kepada manusia hingga mereka mengetahui kebenaran Al-Qur'an merupakan bukti-bukti rasional. Di samping ia juga merupakan bukti-bukti legal karena ditunjukkan oleh syara’. Di dalam Al-Qur'an penuh dengan ayat-ayat yang dibuktikan oleh rasio tapi bersifat syar’i karena agama lah yang menuntun dan mengarahkannya”, tandas beliau.

Kalau dahulu para tokoh yang mengkritisi khazanah tafsir berhadapan dengan dongeng-dongeng Isrâiliyyât, gelombang filsafat Hellenisme dan kejumudan berfikir umat Islam, di abad ini, kita sedang menyaksikan suatu fenomena baru yang lebih dahsyat. Yakni, lahirnya Isrâiliyyât modern, dan virus sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) yang dilahirkan dari orientalisme. Fenomena seperti inilah yang kini sedang dipuja-puja aktivis liberal.

Fenomena keberagamaan baru ini untuk sementara akan dianggap banyak orang seolah-olah bersikap agamis, meski aslinya ingin menjauhkan manusia dari sang Pencipta-nya. Sebab yang sekarang terjadi bukan hanya pemahaman Al-Qur’an yang dipelintir sedemikian rupa dengan memakai analisis hermeneutika dan dialektika marxisme. Bahkan otentisitas Al-Qur’an sudah mulai otak-atik untuk “diragukan” dengan dalih metode kritik historis.

Para cendekiawan Muslim kita sekarang ini tidak lagi hanya berhadapan dengan “dakhîl” tafsir Al-Qur’an berupa tawaran-tawaran menyesatkan tapi juga “dakhîl’ yang menyerang eksistensi Al-Qur’an itu sendiri. Boleh jadi, inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah sebagai tafsir-tafsir “tercela”.

Penulis adalah mahasiswa program pascasarjana (S-2) Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Universitas Al-Azhar Mesir dan kontributor buku "Otentisitas Al-Qur’an" yang dipublikasikan oleh FORDIAN, April 2003

Senin, 18 Januari 2010

Belajar HTML

Assalamualaikum warohmatullahi Wabarokatuh

   Belajar membuat huruf tebal.
Ini huruf tebal
Huruf tebal strong

Membuat huruf miring
teks miring
teks miring menggunakan em

membuat garis bawah
Teks garis bawah

Membuat tautan
anchor text

Membuat huruf warna
teks warna



Mobile Blogging