Kamis, 10 Desember 2009

Kupas Tuntas Tentang Tayammum

Agama Islam adalah agama rahmat yang penuh dengan kebarokahan dan petunjuk kepada kebenaran. Agama ini adalah agama yang penuh dengan kedamaian dan tidak extrim artinya tidak mempersulit pengikutnyna jika terjadi kondisi susah.
Banyak rukhsoh yang diberikan oleh Allah, diantaranya adalah dibolehkannya duduk jika tidak mampu shalat dengan berdiri, bolehnya berbuka bagi yang berpuasa ketika melakukan safar, begitu juga dengan tayamum yang akan kita bahas kali ini
DEFINISI TAYAMUM
Menurut bahasa, tayamum berarti menuju ke debu. Sedangkan menurut syari’at, tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan dengan niatb untuk mendirikan shalat atau yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. An-Nisa’: 43
فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسِحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Rasulullah bersabda:
جُعِلَتْ الْأَرْضُ كُلَُّهَا لِي و لِأُمَّتيِ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيْцَمَا اَدْرَكَتْ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي الصَّلاَة فَعِنْدَ َطُهُورُهُ (رواه أحمد)
“Telah dijadikan seluruh tanah di bumi untukku, sebagai tempat sujud dan bersuci. Karenanya, di mana saja waktu shalat itu tiba menghampiri umatku, maka tanah dapat mensucikannya.” (HR. Ahmad)
Adapun ijma’ para ulama’ membolehkan tayamum sebagai pengganti wudhu atau mandi pada kondisi tertentu.
SEBAB DISYARIATKAN
Terdapat sebuah riwayat Aisyah: “Kami bepergian bersama Nabi dalam satu perjalanan. Ketika kami sampai di Baida’ kalungku hilang. Karena itu Nabi berhenti untuk mencarinya. Begitu pula selluruh rombongan turut berhenti bersama beliau. Sedangnkan di tempat itu tidak ada air dan mereka tidak membawa air. Karena itu mereka mendatangi Abu Bakar, lalu mereka berkata, “Adakah Anda perhatikan Aisyah? Karenanya Nabi dan rombongan terpaksa berhenti. Padahal di sini tidak ada air dan rombongan tidak membawa air pula. Maka Abu Bakar mengatai-taiku sepuas hatinya, sehingga ditusuknya rusukku dengan tangannya. Aku tak dapat bergerak, karena Nabi tidur di pahaku, dan beliau tertidur sampaisubuh tanpa air. Maka Allah menurunkan ayat tayamum: “Maka hendaklah kalian bertayamum. Lalu Usaid bin Hudhair berkata: ‘Inilah bukanlah berkah yang pertama darimu hai keluarga abu Bakar!’ selanjutnya Aisyah berkata: ‘Ketika unta kami suruh berdiri, kami dapati kalungku berada di bawah unta itu.” (HR. Jama’ah kecuali At-Tirmidzi)
KAPAN DIBOLEHKANNYA TAYAMUM???
1. Ketika tidak ada air baik dalam keadaan mukim maupun safar
2. Ketika keadaan seseorang itu sakit dan jika menyentuh air itu akan lebih membahayakan dirinya.
Dibolehkannya bertayamum baik dari hadats kecil maupun hadats besar. Menurut madzhab Hanafi diperbolehkan tayamum ketika waktu sholat itu sempit dan jika berwudhu maka waktu sholat akan habis. Seperti hadits Abi Jahim Al-Anshary berkata: “Rasululah berada di dekat sumur unta, kemudian ada seseorang yang menyalami beliau, tapi beliau tidak menjawabnya sehingga beliau mengusapkan tangannya ke tembok kemudian mengusapkan ke wajah dan tangan beliau kemudian beliau sahalat dan menjawab salam orang tadi.” Dalil ini menjadi dasar atas bolehnya tayamum karena khawatir ketinggalan waktu sholat fardhu.
Seseorang yang bertayamum itu juga dibolehkan untuk melakukan hal-hal yang dibolehkan dari berwudhu dan mandi.
TATA CARA TAYAMUM
1. Berniat untuk thaharah dari hadats kecil maupun hadats besar
2. Menepukkan tangan ke debu yang suci kemudian meniupnya, kemudian mengusapkan wajah dan tangan sampai pergelangna tangan. Dengan ini telah dikatakan tayamum
DEBU UNTUK TAYAMUM
Debu yang dipergnakan untuk bertayamum adalah debu yang suci dan segala sesuatu yang sejenis tanah, seoerti kerikil, batu atau kapur, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS. An-Nisa’: 43)
Para ahli bahasa sepakat dalam mengartikan “As-Sha’id” yaitu permukaan tanah baik berupa debu atau yang lainnya.
Diperbolehkan tayamum menggunakan bulu, pakaian, maupun apa saja yang mengandung unsur debu yang menempel. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar:
أَنَّ النَّبِيَّ ضَرَبَ يَدَيْهِ عَلَى الحَائِطِ وَ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ ثُمَّ ضَرَبَ ضَرَبَةً أُخْرَى فمَسَحَ َذِرَاعَيْهِ (رواه أبوداود)
“Bahwa Nabi menepukkan kedua telapak tangan beliau ke dinding dan mengusapkannya ke wajah. Kemudian menepuk kedua kalinya, lalu mengusapkan pada kedua lengannya”
Tidak diperbolehkan bertayamum dengan sesuatu yang tidak suci menurut Imam As-Syafi’I dan para pengikut Abi Hanifah.
KETENTUAN-KETENTUAN TAYAMUM
a. Ketentuan tayamum sama dengan ketentuan wudhu, bedanya adalah tidak adanya air, kemampuan untuk menggunakannnya.
b. Semua yang membatalkan wudhu juga membatalakan tayamum
c. Jika menemukan air setelah menunaikan shalat maka tidak wajib untuk mengulanginya, tapi hukumnya mustahab saja
Bagi seseorang yang junub , lalu ia tidak mendapat air, maka dibolehkan baginya untuk tayamum dengan tata cara yang telah disebutkan. Selain itu, bagi seorang wanita harus melepaskan cincin yang ia kenakan ketika bertayamum, sehingga tayamumnya benar-benar sah. Hal ini dikiaskan dengan apa yang harus dikenai ketika wudhu, dikarenakan debu tidak seperti air, itu adalah untuk lebih kehati-hatian.
Adapun tayamum bagi jenazah, itu diperbolehkan apabila keberadaan air sulit didapatkan. Caranya sama sepertu tayamumnya orang hidup, tapi tetap menjaga syarat-syarat seperti memandikan dengan air.
Demikianlah sedikit ulasan, semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Wallahu a’lam bishowab……

Referensi:
 Alqur’an Al-Karim
 Sunan Abi Daud
 Fikih Wanita
 Fikh Sunnah linnisa’

Puasa Wanita Hamil dan Menyusui

Ibadah puasa merupakan salah satu kewajiban dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba Nya. Puasa pada bulan ramadhan merupakan amal ibadah yang diwajibkan kepada wanita muslimah yang berakal sehat dan telah mencapai usia baligh.
Agama Islam adalah agama yang mudah, yaitu tidak ada paksaan bagi pemeluknya. Termasuk salah satu rahmat dari Allah yang ada di dalam dien ini adalah kemudahan bagi wanita hamil dan menyusui untuk mengganti puasanya. Tata caranya pun telah diatur di dalamnya.
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui diperbolehkan untuk berbuka. Akan tetapi, harus menggantinya pada hari yang lain atau memberikan makan kepada orang miskin. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad :
إنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامَ وَعَنْ الْحَامِلِ وَالِْمُرْضِعِ الصوم أو الصيام. والله لقد قالهما رسول الله  أحدهما أو كلاهما (رواه النسا ئي والترمذي)
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan setengah nilai shalat dari para musafir serta memberikan kemurahan kepada wanita hamil dan menyusui. Demi Allah, Rasulullah  telah mengatakan keduanya, salah satu atau keduanya.” (HR. An-Nasa’I dan At-Tirmidzi)
Seorang wanita yang hamil atau menyusui dibolehkan untuk tidak berpuasa. Para ulama sepakat mengatakan bahwa keduanya adalah orang yang mendapat 'udzur syar'i. Hanya mereka berbeda pendapat ketika memasukkan kategori.
Sebagian mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk kategori orang yang sakit. Sehingga konsekuensinya harus mengganti dengan berpuasa di hari lain, sebagaimana umumnya orang sakit. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184)
Sebagian lagi mengatakan bahwa keduanya termasuk orang yang lemah atau sudah udzur. Sehingga konsekuensinya bukan dengan mengganti puasa di bulan lain, melainkan sebagaimana orang yang lemah, yaitu memberi makan orang miskin. Atau kita kenal juga dengan membayar fidyah. Dalilnya adalah ayat yang sama dengan di atas yang merupakan kelanjutan ayat tersebut.
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah,: memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Dan ada juga kalangan yang menyerahkan langsung kepada yang bersangkutan, apakah termasuk kategori orang sakit atau orang lemah. Yaitu dengan cara melihat kepada motivasi ketika tidak puasa. Kalau dia mengkhawatirkan keadaan dirinya, maka termasuk kategori orang yang sakit. Dan konsekuensinya dengan mengganti puasa di hari lain. Tapi kalau dia mengkhawatirkan bayinya sehingga tidak berpuasa, maka termasuk kategori orang lemah, sehingga konsekuensinya hanya membayar fidyah.
Sedangkan khusus wanita yang nifas, bila meninggalkan puasa, maka caranya hanya dengan mengganti dengan puasa di hari yang lain. Bukan dengan bayar fidyah.
Jika seorang wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa lalu ia berbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadha puasa, keadaannya saat itu adalah seperti orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau seperti orang yang khawatir dirinya akan mendapat bahaya jika berpuasa, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِЪُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpusa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yag lain" [Al-Baqarah : 185]


Mengenai kewajiban untuk membayar qodho dan bayar fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak dapat berpuasa pada bulan ramadhan dengan alasan takut membahayakan janin yang ada dalam kandungannya atau juga khawatir terhadap dirinya sendiri, ada beberapa singkatkan uraian dari para ulama sebagai berikut :
1. Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (mengqodho puasa)
Wanita menyusui dan wanita hamil ini bisa disamakan atau diartikan sebagai orang sakit, akan tetapi jika udzur kedua wanita itu karena ada rasa khawatir terhadap bayi atau janin yang dalam perut maka di samping mengqadha puasa, kedua wanita itu diharuskan memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya berupa makanan pokok, bisa berupa gandum, beras, korma atau lainnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat : Tidak ada kewajiban bagi kedua wanita itu kecuali mengqadha puasa, karena tentang memberi makan orang miskin. tidak ada dalilnya dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, ini adalah madzhab Abu Hanifah dan merupakan pendapat yang kuat.
2. Menurut Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta (mengqodho puasa):
Jika wanita hamil itu khawatir kepada dirinya atau anaknya jika berpuasa dibulan Ramadhan, maka hendaknya ia tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasanya saja. Statusnya saat itu adalah seperti orang yang tidak kuat untuk berpuasa atau takut akan timbulnya bahaya pada dirinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Permasalahan Seputar Kain dan Tali Kafan

1. Hukum Mengkafani Mayit.
Allah  telah mengistimewakan bani Adam dari yang lainnya yaitu dengan syariat penyelenggaraan jenazah berupa upacara pemakaman jasad mereka. Maka setelah mayit muslim dimandikan, ia wajib dikafani dengan sesuatu yang menutupi seluruh jasadnya. Dengan demikian hukum mengkafani mayit adalah fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang ditinggalkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Mush’ab bin Umair  salah seorang syuhada pada perang uhud, dikafani dengan kain kafan pendek, kemudian Rasulullah  memerintahkan para sahabat menutup kepala, badan , dan kedua kakinya dengan tumbuh-tumbuhan idzkhir. (Diriwayatkan Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni, dan Imam Syafi’i. Sanad hadits ini baik).

2. Ketentuan Dalam Mengkafani.
وفي الصحيحين عن عائشة، رضي الله عنها، أنها قالت: كفن رسول الله صلى الله عليه وسلم في ثلاثة أثواب بيض سحولية، ليس فيها قميص ولا عمامة
Dari hadits diatas bahwasanya dapat diketahui kain kafan untuk mayat laki-laki adalah terdiri dari 3 lapis, karena Rasulullah  dikafani dangan 3 lapis kain putih terbuat dari kapas dan tanpa ada baju gamis, atau sorban di dalamnya. Kecuali orang yang sedang ihram, ia dikafani dangan pakaian ihramnya, tidak diberi wangi-wangian, dan kepalanya tidak ditutup, agar ia tetap dalam keadaan ihram, karena Rasulullah  bersabda tentang orang yang jatuh dari hewan kendaraannya pada hari Arafah kemudian meninggal dunia, “Mandikanlah dia dengan air dan kapur barus, kafani dengan kedua pakaiannya, jangan tutup kepalanya karena ia dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” (Muttafaqun Alaih)
Sedangkan kain kafan untuk mayat wanita terdiri dari 5 lapis, karna pada masa hidupnya wanita lebih banyak membutuhkan kain untuk menutup auratnya maka begitu juga ketika matinya

`3. Proses Pengkafanan.
a.Tata cara Mengkafani
Setelah selesai memandikan, kita persiapkan peralatan untuk megkafani jenazah. Peralatan tersebut di antaranya kain kafan yang putih bersih, untuk laki-laki tiga lembar kain dan untuk wanita lima lembar. Selain itu kita siapkan juga kapas, kapur barus halus, minyak wangi, dan keperluan lainnya.
Pertama, kita potong kain kafan sesuai dengan panjang jenazah ditambah sekitar tiga jengkal atau 70 cm untuk tempat mengikat. Untuk jenazah laki-laki, tiga lembar sama panjang sedangkan untuk wanita dua lembar sama panjang, satu lembar kain panjang (bawahan), satu lembar baju, dan satu lembar kerudung. Atau tiga lembar sama panjang, satu lembar baju panjang/ gamis dan satu lembar kerudung (semuanya lima lembar). Selanjutnya kita sediakan lima helai atau lebih (yang penting ganjil) tali pengikat yang dibuat atau dipotong dari setiap sisi kain kafan.
Setelah itu lalu kita bentangkan kain kafan satu per satu di atas dipan/keranda/tikar dengal tempat untuk posisi kepala mengarah kiblat. Jangan lupa, di bawah kain-kain tersebut sudah diletakkan tali pengikatnya. Lalu kita taruh kapas di atas kafan terutama untuk bagian dubur dan taburi kain kafan itu dengan kapur barus halus dan minyak wangi secukupnya.
Setelah semua siap, kita pun bisa mengangkat jenazah dan meletakkan di atasnya. Kita lapisi bagian qubul, seluruh persendian, luka-luka (kalau ada) dengan kapas yang sudah ditaburi kapur barus halus, lalu lipat selembar demi selembar, dimulai dapi bagian kanan jenazah. Lalu kita ikat jenazah dengan ikatan yang mudah dibuka di bagian sebelah kiri dengan tujuan agar pengubur mudah melepaskan ikatan tersebut di dalam liang lahat.

b.Cara mengikat tali-tali pengikat pada kain kafan.
1. Mulailah dengan mengikat tali bagian atas kepala mayyit dan sisa kain bagian atas yang lebih itu dilipat kewajahnya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri.
2. Kemudian ikatlah tali bagian bawah kaki dan sisa kain kafan bagian bawah yang lebih itu dilipat kekakinya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri.
3. Setelah itu ikatlah kelima tali yang lain dengan jarak yang sama rata. Perlu diperhatikan, mengikat tali tersebut jangan terlalu kencang dan usahakan ikatannya terletak disisi sebelah kiri tubuh, agar mudah dibuka ketika jenazah dibaringkan kesisi sebelah kanan dalam kubur.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa tali pengikat kain kafan itu di buka saat jenazah sudah dimasukan kedalam liang lahat. Hal ini sesuai dengan keterangan dari ulama dalam kitab Fiqhus sunnah oleh Syaikh Sayyid Sabiq, beliau menyebutkan: ”Dianjurkan ketika menguburkan jenazah, menumpukan jasadnya pada bagian tubuh sebelah kanan dan menghadapkan wajahnya kearah kiblat. Lalu bagi yang meletakkan jenazah keliang lahat hendaklah sambil berdo’a:
بسم الله وعلى ملة رسول الله، أو وعلى سنة رسول الله
dan melepas tali pengikat kain kafan.”

4. Kesimpulan.
Dari keterangan diatas maka dapat kita jadikan bantahan terhadap syubhat yang menyebutkan bahwa jenazah seseorang yang tidak dibuka tali kafannya akan menyebabkan jasadnya tidak tenang di alam kubur dan menyebabkan bangkitnya arwah kembali ke dunia untuk meminta tolong kepada orang yang ditinggalkannya untuk membuka ikatan tali kafannya. Jelas hal tersebut merupakan sebuah khurafat yang tidak ada landasannya dalam Qur’an dan Sunnah. Lalu bagaimanakah tanggapan kita atas permasalahan seputar kain kafan yakni, bolehkah kain kafan berjahit?, dan apa hukum dari melepas tali pengikat kain kafan saat penguburan jenazah?
Bisa ditarik kesimpulan, bahwa kain kafan itu tidak berjahit, dan terdapat pengecualian dalam hal ini yaitu pada orang yang terbunuh dimedan peperangan, mereka tidak dikafani sebagaimana orang biasa, mereka dikafani dengan pakaian yang mereka kenakan, Adapun tali pengikat pada mayit, dari kesimpulan diatas, hendaklah ketika mayit itu dikafani, lalu diikat pada bagian-bagiannya, hendaklah tidak mengikatnya terlalu kencang dan usahakan ikatannya terletak disisi sebelah kiri tubuh, agar mudah dibuka ketika jenazah dibaringkan kesisi sebelah kanan dalam kubur ketika wajah mayit dihadapkan ke arah kiblat





Reference:
 Fiqhu Sunnah : Sayyid Sabiq.
 Minhajul Muslim : Abu Bakar Al-Jazair.
Bimbingan Praktis Penyelenggaraan jenazah : Abdurrahman bin Abdullah bin Al- Ghaits.
Berbagai Sumber Lainnya.

Pakaian Wanita Muslimah

Pakaian dan pehiasan memanglah suatu yang identik dengan wanita, hanya saja tidak semua wanita mengetahui apakah suatu pakaian atau perhiasan itu boleh atau tidak untuk dipakai menurut syari’at.
Merupakan hal yang jelas, segala bencana wanita yang sering berdandan keluar rumah dengan memerlihatkan aurat di hadapan para lelaki yang bukan mahromnya, bahkan memperlihatkan perhiasan-perhiasan yang tidak boleh ditampakan kepada selain mahrom. Tidak diragukan lagi bahwa semua termasuk dosa besar dan bermaksiat. Padahal sudah sangat jelas Allah  telah memerintahkan wanita untuk berhijab dan menutup auratnya, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:

يأيها انبيا قل لأزوجك وبنا تك ونساء المؤمين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك دنى ان يعرفن فلايؤذين وكان الله غفورا رحيما

”Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya nereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
Ini adalah petunjuk yang jelas tentang kewajiban memakai jilbab. Tetapi jilbab itu sendiri sebenarnya bukan kerudung seperti yang selama ini kita pahami. Pada ayat diatas terdapat kata Jalabib merupan bentuk plural dari jilbab. Sementara arti jilbab itu sendiri adalah ”sesuatu yang dikenakan oleh wanita mulai dari atas kepalanya untuk menutupi dan dan melindungi seluruh tubuhnya.” Allah  memerintahkan seluruh wanita muslimah untuk mengenakan jilbab panjang untuk menutupi lekuk-lekuk tubuh mereka, mulai dari rambut, wajah dan seterusnya.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan ada beberapa perkara penting yang dikehendaki oleh aturan islam dalam soal pakaian wanita serta etika-etika busana muslimah secara umum yaitu:
1. menutup seluruh tubuh, selain bagian yang dikecualikan.
2. memakai busana tidak untuk berhias.
3. memakai pakaian tebal, tidak tipis atau transparan.
4. pakaian bersifat lonnggar tidak ketat.
5. pakaian tidak diberi wangu-wangian, sehingga menimbilkan semerbak harum ke sekeliling.
6. tidak menyerupai pakaian laki-laki.
7. tidak menyerupai pakaian orang non muslim.
8. bukan untuk mencari popularitas.

Dan berikut akan dijelaskan secara terperinci :
Kriteria jilbab bukanlah berdasarkan kepantasan atau mode yang lagi trend,melainkan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.Jika kedua sumber hukum Islam ini telah memutuskan suatu Hukum, maka seorang muslim atau muslimah terlarang membantahnya.
Firman Allah  : Artinya :”Tidak pantas bagi seorang muslim atau muslimat jika Allah dan Rosul-Nya telah memutuskan suatu hokum,mereka memilih hukum lainya tenatng suatu urusan.Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rosul-Nya,maka ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”(QS.Al-Ahzab 33:36).
Para perancang mode boleh saja bilang bahwa hasil rancangannya itu adalah jilbab,tetapi jika hal itu ternyata tidak memenuhi syarat sebagaiman yang diperintahkan Allah swt,maka itu bukanlah jilbab melainkan pakaian yang dikategorikan telanjang.
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalm bukunya “Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fil Kitabi Was sunati” (Jilbab wanita Muslim) mengharusakn jilbab itu memenuhi delapan syarat yaitu :
1. Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan
Syarat ini terdapt dalm firman Allah  yang artinya :”Katakanlah kepada wanita muslim:”Hendaklah mereka menahan pandalgan mereka dan memelihara kemaluan mereka,dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedada mereka,dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka,saudara-saudara mereka atau putra-putra saudara suami mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereia miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah,Hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”(QS.An-Nur : 31)
Adapun yang dimaksud ziinah (perhiasan) yaitu sesuatu yang diperlihatkan dari seorang wanita,baik itu pakaian,perhiaan seperti cincin,dan sebagainya yang dikenal sebagai alat kecantikan / make-up (tajmiel).
Menurut imam Al-Qurthuby,zinnah itu terbagi dua bagian :
• Zinah Khalqiah,yaitu perhiasan yang sudah melekat pada dirinya seperti raut wajh,kulit,bibir,dan sebagainya.
• Ziinah Muktasabah,yaitu perhiasan yang dipakai wanita untuk memperindah atau menutupi jasmaninya,seperti busana,cincin,celak mata,pewarna bibir dan sejenisnya.
Maksud dari perhiasan yang biasa tampak dan boleh diperlihatkanitu,karena tidak mungkin untuk menyembunyikan atau menutupnya.Seperti wajah,pakaian luar dan telapak tanean.
Menurut Ibnu Mas’ud,perhiasan itu ada 2 bagian :
• Perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kecuali kepada suami,yaitu cincin (jari-jari tangan) dan wajah.
• Perhiasan yang boleh ditampakkan pada orang asing yaitu busana bagian luarnya.
Abdul At-Talidy (1990) dalam “Al-Mar’ah Al-Mutabarijjah” mengungkapkan tiga jenis ziinah yang tidak boleh diperlihatkan kepada selain muhrim :
1. Pakaian dan assesoris busana
2. Perhiasan seperti kalung,cincin,dan anting
3. Alat rias seperti lipstick,celak,pewarna,dan sejenisnya.
Ketiga ziinah ini harus ditutupi kecuali memang yang tidak mungkin tertutup,atau tidak sengaja terbuka.

2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan
Syarat ini berdasarkan firman Allah swt :
Artinya : “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka”.(Qs An-Nur : 31)
Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya.Hal ini dikuatkan oleh firman Allah swt yang artinya :”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang pertama.”(QS Al-Ahzab:33)
Pakaian jilbab sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ahzab berfungsi sebagai pelindung wanita dari godaan laki-laki.Hal ini berarti pakaian muslimah(jilbab) tidak boleh berlebihan atau mengikuti trend mode tertentu karena memang jilbab bukan perhiasan.

3. Kainnya harus tebal tidak tipis
Sebagai pelindung wanita secara otomatis jilbab harus tebal atau tidak transparan atau membayang (tipis) karena jika demikian akan semakin memancing fitnah (godaan) dari pihak laki-laki.
Adapun fenomena kudung gaul yang kini sedang trend dikalangan anak-anak muda dengan pakaian yang tipis dan serba ketat,hal ini jelas merupakan pelanggaran berat terhadap syarat jilbab yang diharuskan.
4. Harus longgar,tidak ketat,sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya.
Diantara maksud diwaibkannya jilbab adalah agar tadak timbul fitnah (godaan) dari pihak laki-laki.Dan itu tidak mungkin terwujud jika pakaian yang dikenakan tidak ketat dan tidak membentuk lekuk-lekuk tubuhnya.Untuk itu jilbab harus longgar atau tidak ketat.
5. Tidak diberi wewangian atau parfum
Syarat ini berdasrkan larangan terhadap kaum wanita untuk memakai wangi-wangian bila mereka keluar rumah.Rosulullah saw bersabda : “siapapun perempuan yang memakai wewangian. Lalu ia melewati kaum laki-laki agar ia menghirup wanginya,maka ia sudah berzina.”(HR.An-Nasa’i)
Alasan pelarangan ini jelas,yaitu bahwa hal ituakan membangkitkan nafsu birahi.Para ulama bahkan mengikutkan qesuatu yang semakna dengannya seperti pakaian indah,perhiasan yang tampak dan hiasan(asesoris) yang megah,serta ikhtilat atau bercampur baur dengan laki-laki.
6. Tidak menyerupai laki-laki
Adz-Dzahabi memasukan tindakan wanita yang menyerupai laki-laki dan tindakan kaum laki-laki menyerupai wanita dalam “al-kabaair” (dosa-dosa besar).Mereka dilaknat dan laknat ini akan menimpa juga pada suaminya yang membiarkannya,meridhainya dan tidak melarangnya melakukan hal itu.

7. Tidak meyerupai pakaian wanita kafir
Syarat ini didasarkan pada haramnay kaum muslimin termasuk wanita menyerupai (tasyabuh) orang-orang (wanita) kafir baik dalm berpakaian yang khas pakaian mereka, ibadah, makanan,perhiasan,adat istiadat maupun dalam berkata atau memuji seseorang yang berlebihan.

8. Bukan libas syuhra (pakaian untuk mencari popuritas)
Libas syuhra adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas (gengsi) ditengah-tengah orang banyak,baik pakaian tersebut mahal yang dipakaian oleh seseorang untuk berbangga dengan dun dan perhiasannya,maupun pakaian oleh seseorang untuk menampakkan kedzuhudannya dengan tujuan ria .

Ikhtilath dan Dunia Maya

Di pikiran kita pasti akan terbesit sebuah gambaran dunia yang tidak mempunyai batas sama sekali atu sebuah dunia yang hanya berada di angan-angan saja di saat kita mendengar atau membaca sebuah kata “dunia maya”. Tanpa penjelasan yang panjang lebar pun kita sudah mengetahui bahwa dunia maya itu adalah dunia yang tidak ada di depan mata kita.
Lalu apa yang dimaksud dengan komunikasi dunia maya? Komunikasi dunia maya adalah berhubungan dengan orang lain tanpa menghadirkan orang tersebut di depan mata kita. Untuk berkomunikasi dunia maya kita membutuhkan suatu alat agar kita bisa berhubungan dengan orang yang kita kehendaki. Alat-alat yang biasa digunakan untuk komunikasi dunia maya itu antara lain internet, telepon rumah, dan Hp.

Dampak Dunia Maya Terhadap Dunia Nyata
Dengan adanya dunia maya kita dapat memperoleh banyak manfaat dan kemudahan dalam segala hal. Manfaat dan kemudahan tersebut antara lain:
1. Internet sebagai media komunikasi, merupakan fungsi internet yang paling banyak digunakan dimana setiap pengguna internet dapat berkomunikasi dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia.
2. Media pertukaran data, dengan menggunakan email, newsgroup, ftp dan www (world wide web jaringan situs-situs web) para pengguna internet di seluruh dunia dapat saling bertukar informasi dengan cepat dan murah.
3. Media untui mencari informasi atau data, perkembangan internet yang pesat, menjadikan www sebagai salah satu sumber informasi yang penting dan akurat.
4. Kemudahan memperoleh informasi yang ada di internet sehingga manusia tahu apa saja yang terjadi.
5. Bisa digunakan sebagai lahan informasi untuk bidang pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain
6. Kemudahan bertransaksi dan berbisnis dalam bidang perdagangan sehingga tidak perlu pergi menuju ke tempat penawaran/penjualan.
Di samping memberikan manfaat dan kemudahan dalam kehidupan kita, adanya duni maya juga mendatangkan banyak kerugian atau dampak negative bagi kehidupan kita. Seperti halnya sebuah obat yang selain dapat menyembuhkan suatu penyakit juga akan mendatangkan suatu efek samping bagi pemakainya. Dampak negative yang ditimbulkan oleh dunia maya antara lain:
1. Pornografi
Anggapan yang mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi, memang tidak salah. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela. Di internet terdapat gambar-gambar pornografi dan kekerasan yang bisa mengakibatkan dorongan kepada seseorang untuk bertindak kriminal.Violence and Gore
Kekejaman dan kesadisan juga banyak ditampilkan. Karena segi bisnis dan isi pada dunia internet tidak terbatas.
2. Penipuan
Hal ini memang merajalela di bidang manapun. Internet pun tidak luput dari serangan penipu. Cara yang terbaik adalah tidak mengindahkan hal ini atau mengkonfirmasi informasi yang Anda dapatkan pada penyedia informasi tersebut.
3. Carding
Karena sifatnya yang real time (langsung), cara belanja dengan menggunakan Kartu kredit adalah cara yang paling banyak digunakan dalam dunia internet. Para penjahat internet pun paling banyak melakukan kejahatan dalam bidang ini. Dengan sifat yang terbuka, para penjahat mampu mendeteksi adanya transaksi (yang menggunakan Kartu Kredit) on-line dan mencatat kode Kartu yang digunakan. Untuk selanjutnya mereka menggunakan data yang mereka dapatkan untuk kepentingan kejahatan mereka.
4. Perjudian
Dampak lainnya adalah meluasnya perjudian. Dengan jaringan yang tersedia, para penjudi tidak perlu pergi ke tempat khusus untuk memenuhi keinginannya.
Itu semua baru sebagian dari dampak positif dan negative adanya dunia maya. Masih ada banyak lagi dampak yang ditimbulkan oleh dunia maya terhadap kehidupan kita, baik dampak positif maupun dampak negative.

Hubungan Antara Ikhtilat Dengan Dunia Maya
Di zaman yang serba modern ini banyak sekali kita temukan para aktifis dakwah saling berhubungan antara ikhwan (laki-laki) dengan akhwat (wanita) dalam dunia maya. Baik melalui sms, chatting, ataupun e_mail. Memang kalau dilihat bahasa yang digunakan pada awal-awal itu terkesan bagus, karena kata-kata tersebut adalah sebuah nasihat, bukan kata-kata gaul yang diimport (berasal) dari Negara barat yang sering digunakan oleh para remaja dalam rangka pacaran. Namun setelah kita perhatikan lebih jauh lagi ternyata kata-kata yang awalnya sebuah nasihat menjadi kata-kata rayuan dari seorang lawan jenis. Kata-kata itu bak peluru, yang bisa menembus sampai ke dasar hati. Ia bak pedang yang bisa melukai, meski si pengucap tak begitu merasakan dampak ucapannya kepada lawan bicaranya. Yang jelas, kata-kata seseorang bisa memberikan pengaruh yang super dahsyat bagi pendengarnya. Padahal telah jelas sekali firman Allah dalam Al-Qur’an:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
“Karena itu janganlah kamu (isteri-isteri Rasul) tunduk dalam berbicara sehingga orang yang dalam hatinya ada penyakit memiliki keinginan buruk. Tetapi ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab: 32)
Imam Qurtubi menafsirkan kata alkhudhu’ (tunduk) dalam ayat di atas dengan arti lainul qaul (melembutkan suara) yang memberikan rasa ikatan dalam hati. Artinya pembicaraan yang dilarang adalah pembicaraan yang menyebabkan fitnah dengan melembutkan suaraTermasuk di sini adalah kata-kata yang diungkapkan dalam bentuk tulisan. Karena dengan tulisan seseorang juga bisa mengungkapkan kata-kata yang menyebabkan seseorang merasakan hubungan khusus, kemudian menimbulkan keinginan yang tidak baik.
Termasuk juga dalam melembutkan suara adalah kata-kata atau isyarat yang mengandung kebaikan, namun bisa menyebabkan fitnah. Yaitu dengan cara dan bentuk yang menyebabkan timbulnya perasaan khusus atau keinginan yang tidak baik pada diri lauan bicara yang bukan mahram. Baik dengan suara ataupun melalui tulisan.
Lalu apa hubungannya ikhtilat dengan dunia maya? Ikhtilat menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisānul ‘Arab 9/161-162). Adapun menurut istilah, ikhtilat adalah bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fī Ahkāmil Mar’ah: 3/421).Memang di saat kita sedang asyik sendiri berchatting atau email-emailan atau sms-an dengan “si dia” di hadapan layar dunia maya yang fisik kita tidak saling berhadapan, padahal sejatinya kita sedang menjalin hubungan “berduaan” dengan komunikan kita. Hanya Anda dan dia yang tahu. Tapi setidaknya, waspadai gejolak hati yang bermain. Memang fisik kita jauh, tapi dalam pikiran kita akan ada bayangan si dia. Yang itu semua dapat menimbulkan suatu perzinaan.
وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32)

Agar Terhindar Dari Ikhtilat Dalam Dunia Maya
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guna menghindari ikhtilat dalam dunia maya. Hal-hal tersebut antara lain:
 Pelihara rasa Muroqobatullah (dalam pengawasan Allah) setiap saat.
Muroqobatullah (Merasakan pengawasan langsung dari Allah) menjadi sebuah keniscayaan yang perlu selalu dipelihara setiap dari kita. Ingatlah, Sahabat, bahwa Allah selalu bersama kita dimana pun kita berada. Dia mengetahui setiap lintasan pikiran, setiap lirikan mata, dan setiap goresan rasa di hati kita. Jangan sampai Allah mendapati kita sedang bermaksiat dengan segala nikmat yang kita terima dariNya. Kecil atau besar, semuanya bukanlah perkara gratis tanpa pertanggungjawaban. Allah berfirman:
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’: 36)
 Hindari menceritakan perasaan atau urusan pribadi berduan dengan komunikan non muhrim, terutama saat sedang menggunakan fasilitas chatting.
 Hiraukan dan atau alihkan pembicaraan dan atau stop saja pembicaraan yang menjurus ke arah pribadi saat chatting dengan lawan jenis non muhrim. Disukai dengan cara yang sopan.Bukan sekadar seleb blog! Pastikan tulisan tentang perjalanan pribadi Anda di jurnal elektronik (semisal blog) memiliki ibrah yang bisa diambil oleh pembaca, bukan curhatan belaka atau sekadar profile of you.
 Pelihara tahfizh Qur’an (hafalan Al-Qur’an) Anda agar tidak mudah terbuai oleh ayat-ayat cinta selain ayat-ayat cintaNya yang sangat mungkin Anda temui di dunia maya ini.
 Jika Anda memiliki frindster atau multiply atau blogspot, dsb, undanglah senior atau murobbi atau orang yang Anda segani karena ilmu dan keimanannya, untuk `ergabung dan berkunjung sehingga mereka dapat menasehati dan mengoreksi kekeliruan kita.
 Jika Anda memiliki frindster atau multiply atau blogspot dan sebagainya, undang juga adik kelas atau mad’u Anda untuk berkunjung dan bergabung agar Anda dapat merasa lebih hati-hati dan terjaga dalam memelihara keteladanan bagi mereka.
 Ingatlah kekonyolan kita akan tercermin pada saudara kita (terutama mad’u). Kenakalan kita – walaupun tersembunyi di balik kecanggihan teknologi – hanya akan membuahkan noda pada kesucial jalan dakwah. Ingatlah selalu kepercayaan umat yang kita emban untuk memberikan kemashlahatan bagi mereka.
 Manfaatkan benar kemudahan berkomunikasi saat ini untuk hal yang benar-benar bermanfaat.

Hukum Ziyarah Kubur Bagi Wanita

Keluarnya seorang wanita itu diperbolehkan jika untuk memenuhi kebutuhan. Jika dengan keluarnya wanita itu berupa hajiah atau kebutuhan yang sangat mendesak itu tidak ada larangan kecuali jika hanya untuk berfoya-foya atau keluar untuk hal-hal yang bersifat tidak perlu. Nah, untuk keluarmya seorang wanita untuk berziarah kubur jika ia berniat untuk lebih mengingat kematian dan dapat meningkatkan keimanan itu diperbolehkan.
Disyariatkannya ziarah kubur adalah sebagai nasehat dan mengingat kematian dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Sebagaimana sabda Rasulullah:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُهَا (تذكركم اللأخرة )
“Saya telah melarang kalian untuk menziarahi kuburan kemudian berziarahlah”
Hukum ziarah kubur bagi wanita ada tiga pendapat ulama’:
1. Haram
2. Makruh
3. Mubah, tidak makruh sedikitpun yaitu riwayat Imam Ahmad, Imam Malik, sebagaian pengikut Imam Hanafi. Ini adalah pendapat yang rajih yaitu dengan syarat hendaknya si waniat tersebut menjadikan ziarah kubur sebagai pengingat kematian yang dapat memberikan motivasi kepadamya untuk beramal, serta menjauhi hal-hal yang diharamkan seperti meratap, bertawassul kepada orang yangtelah meninggal, menabur bunga dengan niat agar si mayit dapat terhibur, menyiram kuburan dengan air dengan niat agar mayit tidak merasa kehausan, dan berbagai macam hal-hal yang diharamkan lainnya.
DALIL YANG MEMBOLEHKAN WANITA BERZIARAH KUBUR
a. Hadits Aisyah
مَرَّ النَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فََтَالَ لَهَا: (اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي....) فَلَمْ يَنْهَهَا عَنِ الزِّيَارَةِ رواه البخاري و مسلم
“Nabi Muhammad melewati seorang perempuan yang sedang menangis di samping kuburan, beliau bersabda: “bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah...” kemudian Rasulullah tidak melarangnya” (H.R. Bukhori dan Muslim)
b. Aisyah menziarahi kuburan saudara laki-lakinya
عَنِ ابْنِ أَبِي مَلِيْكَةِ أَنَّ عَائِشَةَ أَقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْمَقَابِرِ,فَقُلْتُ لَهَا: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنِ, مِنْ أَيْنَ أюقْبَلَتِ؟ قَالَتْ: مِنْ قَبْرِ أَخِي عَبْدُ الرَّحْمَن أَبِي بِكْرٍ, فَقُلَْتُ لَهَا: أَلَيْسَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم نَهَى عَنِ زِيَارَةِ الْقَبْرِ ؟ قاَلَتْ: نَعَمْ, كَانَ نَهَى ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا
“Dari Ibnu Abi Malikah bahwa sanya pada suatu hari saya bertemu dengan Aisyah yang datang dari pekuburan, maka saya bertanya kepadanya: dari mana engkau wahai Ummul Mu’minin? Beliau menjawab: saya dari kuburan saudaraku Abdurrahman bim Abu Bakr, saya bertanya lagi: bukankah Rasulullah telah melarang untuk menziarahi kuburan? Beliau menjawab: ya,Rasulullah telah melarangnya kemudian memerintahkannya”
c. Perkataan Aisyah kepada Rasulullah:
كيف أقول يا رسول الله ؟ تعني إذا أتت المقابر قال: قول السلام على أهل الديار من المؤمنين و المسلمين و يرحم الله المستقدمين منا و المستأخرين و إنا إن شاء الله بكم لاحقون
“Apa yang harus saya ucapkan jika saya melewati kuburan ya Rasulullah? Ucapkanlah: keselamatan atas kalian wahai penduduk kuburan dari golongan orang mu’min dan orang muslim dan Allah tekah merahmati golongan terdahulu dan terakhir dan jika Allah menghendaki kita akan bertemu”
Pembolehan wanita untuk berziarah ke kuburan itupun dengan syarat-syarat berikut ini:
 Berziarah kubur dengan niat untuk mengingat akhirat
 Izin kepada suami atau wali
 Tidak bertabarruj
 Tidak melakukan kesyirikan ataupun kebid’ahan-kebid’ahan
 Tidak meratapi sang mayit
 Tidak mengkhususkan pada hari-hari tertentu saja
Adapun hukum mengantarkan jenazah bagi wanita itu dilarang. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Umu Athiah, beliua berkata:
نُهِنَا عَنْ اِتِّبَاعِ الجَنَائِزِوَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا (رواه البخاى)
“Kami pernah dilarang untuk ikut mengantarkan jenazah dan itu tidak diperketat bagi kami”
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak memperketat larangan bagi kaum wanita untuk ikut mengantarkan jenazah, seperti pengetatan yang terjadi pada larangan-larangan lainnya. Secara lahiriyah, larangan itu lebih bersifat anjuran, demikian menurut Al-Qurthubi. Pendapat yang sama dikemukakan oleh jumhur ulama.
Jadi, hukum mengantarkan jenazah bagi wanita itu dibolehkan tapi sedikit diperketat dibandingkan dengan hukum berziarah wanita yaitu diperbolehkan.




Reference:
o Al-Qur’an Alkarim
o Fikih wanita
o Fikh Sunnah Linnisa’

Hukum Sholat jama'ah Bagi Wanita

Sholat berjama’ah merupakan salah satu syariat Rosulullah  yang sangat ditekankan karena melihat begitu besar urgensi dari sholat berjama’ah itu sendiri. Sholat berjama’ah yang dilakukan di masjid mempunyai manfaat yang sangat besar bagi persatuan umat islam, karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kebaikan yang banyak yaitu bersam-sama menghidupkan syi’ar agama islam yang dengan itu tali ukhuwah pun dapat terjalin kokoh.
Namun kewajiban untuk melakukan sholat berjama’ah di dalam masjid tidaklah dibebankan kepada setiap muslim, karena dalam hal ini ada beberapa golongan dari umat islam yang termasuk golongan yang dikecualikan dan dikhususkan. Diantaranya adalah kaum wanita, orang tua anak-anak dan lain-lain yang memiliki udzur syar’i.
Para ulama telah bersepakat bahwa kaum wanita tidak diwajibkan untuk melaksanakan sholat fardhu secara berjama’ah di dalam masjid. Akan tetapi hukumnya itu mubah yaitu tidak ada larangan mereka untuk pergi ke masjid berdasarkan hadits Nabi  yang diriwayatkan oleh ibnu umar :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Janganlah kalian melarang hamba (para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah”(H.R. Bukhori)
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa Rasulullah :
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian mencegah wanita-wanitakalian ke masjid,meskipun rumah-rumah mereka lebih baik untuk mereka”(H.R.Abu Daud)
Hadits-hadits di atas menunjukkan tentang dibolehkannya wanita pergi ke masid untuk melaksanakan sholat berjama’ah. Akan tetapi termasuk salah satu dari keutamaan bagi seorang perempuan adalah melaksanakan sholat di rumahnya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi :
صلاة المرءة في مخدعها أفضل من صلاتها في بيتهاو صلاتها في بيتها أفضل من صلاتها في حجرتها
“Shalat salah seorang di antara kalian di ruangan yang ada di dalam rumah lebih utama daripada shalat di rumahnya dan shalat di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat di kamar tamunya.”
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ditambahkan:
و صلاتها في مسجد قومها من صلاتها في مسجدالنبي 
“Shalat di rumahnya lebih utama dari pada shalat di masjid kaumnya dan shalat di masjid kaumnya lebih utama daripada mereka shalat di masjid Nabawi”
Dibolehkannya seorang wanita pergi ke masjid itu pun ada ketentuan-ketentuan yang harus di penuhi, diantaranya adalah:
1. Memakai pakaian yang disyari’atkan
2. Tidak memakai wangi-wangian
عَنْ زَيْنَبَ اхْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا
“Diriwayatkan dari Zainab istri Abdullah, ia berkata: Rasulullah  bersabda kepada kami: jika salah seorang diantara kalian mengikuti jama’ah di masjid, maka janganlah kalian memakai wangi-wangian”
3. Tidak tabarruj
4. Tidak menampakkan perhiasannya
5. Tidak berikhtilat dengan laki-laki atau wanita-wanita yang dengannya dapat menimbulkan fitnah
6. Minta izin kepada wali atau suamimya
7. Tidak berlama-lama duduk di masjid
Fenomena hari ini, para wanita menahan diri mereka untuk sholat di masjid dengan alasan untuk menjaga diri dari timbulnya berbagai fitnah tapi mereka tetap pergi ke pasar-pasar atau ke tempat-tempat lain yang di sana lebih banyak fitnah yang akan timbul dibandingkan perginya seorang wanita ke masjid. Oleh karena itu afdholiah bagi wanita untuk sholat di rumahnya itu juga menuntut wanita untuk lebih banyak menetap dirumah.
Oleh karena itu, berdasarkan riwayat diatas, ulama mengambil kesimpulan bahwa hukum shalat bagi wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid karena dengan itu wanita bisa lebih terjaga dari fitnah, terhindar dari keinginan untuk bertabarruj, dan ikhtilath. Nas’alullahal ‘Afiah…

Hukum Nyanyian dan Musik

Musik sudah menjadi makanan pokok bagi kebanyakan orang pada hari ini. Seakan-akan mereka tak bisa hidup tanpa musii dan lagu. Pagi-pagi buta suara musik lah yang mengalun pertama kali dari rumah-rumah mereka. Kalaulah kita data satu persatu, hampir di setiap rumah kita temui kaset atau CD musik, karaoke dan sejenisnya! Itulah realita kita!! Virus musik dan nyanyian yang tersebar di kalangan masyarakat kita sudah mencapai titik yang sangat membahayakan. Bahaya itu dapat kita lihat dari maraknya penjualan cd-cd musik dan karaoke yang menjamur di kaki-kaki lima, mal-mal dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan stelan musik yang keras, begitu memekakkan telinga dan mengganggu orang lain. Mereka tidak lagi menghiraukan kata-kata cabul, kotor dan tak senonoh yang menjadi lirik lagu tersebut. Sudah lumrah kata mereka!
Tidakkah mereka tahu, virus musik dan nyanyian ini sangat besar daya rusaknya terhadap diri seseorang. Hancurnya generasi muda sekarang ini, kalau kita telusuri sebabnya, banyak yang berpangkal dari musik! Maka dari itu para ulama menyebut musik dan lagu ini sebagai jampi-jampi perzinaan! Memang benar, daya hipnotis musik lah yang mendorong mereka melakukan perzinaan, mulai dari zina tangan, zina mata, zina telinga, zina kaki sampai pada akhirnya dibuktikan oleh kemaluan!
Kalau kita mau jujur, sebenarnya pangkal kerusakan ini tidak terlepas dari pendidikan orang tua yang sangat lemah! Anak-anak mereka sejak usia dini sudah dicekoki dengan musik dan lagu! Hingga kalau kebetulan kita melintas di jalanan atau sebuah gang kadang kita temui sekumpulan anak-anak kecil sedang bernyanyi menirukan penyanyi idolanya. Ajaibnya anak sekecil itu hafal lirik lagu dari awal sampai akhir!! Kalau dulu, pada era generasi Salafus Shalih penyanyi begitu hina kedudukannya di mata masyarakat, sekarang justru kebalikannya! Penyanyi begitu mulia dan terhormat dalam pandangan mereka sehingga seluruh gerak-geriknya jadi buah bibir dan berita, seluruh tindak-tanduk dan model penampilannya jadi trend di kalangan mereka.
Akibat dari itu semua adalah memudarnya nilai-nilai ajaran agama yang murni! Al-Qur’an seakan sudah menjadi sesuatu yang ditinegalkan! Tidak lagi dirasakan kenikmatan saat mendengarnya! Shalat juga terganggu kekhusukannya. Memang, shalat adalah ibadah pertama yang terkena dampak dari kecanduan musik dan nyayian ini. Lirik-lirik lagu dan irama musik datang mengusik saat ia mengerjakan shalat! Hilanglah kenikmatan shalat baginya. Kadang kala ia juga meninggalkan shalat! Ia lebih memilih menikmati alunan musik daripada menyambut seruan adzan! Fenomena seperti ini banyak kita dapati di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh sebab itu janean heran bila pagelaran musik dipadati banyak pengunjung sementara jumlah orang yang shalat jama’ah di masjid dapat dihitung dengan jari! Itulah realita!
Di lain pihak, ada pula yang berusaha mengemas musik bernafaskan Islam, kata mereka! Mereka sebut nyanyian ruhani, musik Islami, nasyid Islami dan seabrek istilah-istilah lainnya. Seakan-akan seluruh perkara yang dibubuhi kata-kata ‘Islami’ menjadi ‘label halal’ baginya. Padahal menurut Ibnul Qoyyim musik-musik yang katanya Islami itu ‘lebih berbahaya’ daripada jenis musik dan lagu selainnya. Karena pembubuhan kata Islami di situ merupakan pernyataan bahwa hal itu termasuk perkara yang ‘boleh’ menurut syariat Islam! Padahal Dienul Islam tidak pernah membolehkan hal itu! Maka dengan begitu ia bukan hanya sekedar maksiat namun meningkat menjadi bid’ah! Banyak kita dapati orang-orang yang menikmati musik dan lagu Islami itu berkeyakinan bahwa hal itu dapat meningkatkan keimanannya, mendorong berbuat taat, mendorongnya untuk lebih mencintai Allah dan Rasulullah! Ini adalah syubhat setan dalam menjerat mereka kepada hal-hal yang memalingkan mereka dari Al-Qur’an dan dari mentadabburinya!! Banyak pula kita temui orang-orang yang tergugah hatinya, bangkit kesedihannya hingga berlinang air mata karena mendengar alunan nasyid atau syair! Namun tidak demikian halnya ketika mendengar alunan ayat-ayat Al-Qur’an! Hatinya tidak tersentuh sedikit pun!
Demikianlah melalui musik dan nyanyian ini setan memalingkan anak Adam dari Kalamullah! Setan menebar jarat-jerat syubhat agar anak Adam tetap meyakini bahwa mendengarkan musik dan nyanyian ini bukanlah perkara yang perlu dipermasalahkan! Ini terbukti dengan sedikitnya buku-buku atau tulisan-tulisan yang membeberkan kebusukan musik dan nyanyian serta membongkar syubhat-syubhatnya!
Banyak sekali syubhat-syubhat seputar masalah musik dan nyanyian yang dihembuskan oleh setan. Salah satu di antaranya, setan membisikkan kepada manusia, Apa bedanya mendengar musik dengan mendengar suara kicauan burung, hembusan angin, gemersik dedaunan, dan suara-suara alam lainnya?! Lalu syubhat model seperti ini termakan oleh orang-orang yang lemah akal dan imannya.
Seluruh ulama empat madzhab tersebut sepakat bahwa musik, lagu dan nyanyian itu haram hukumnya!
Sepertinya kaum muslimin sekarang ini harus tahu status hukum musik dan nyanyian serta dampak-dampak langsung maupun tidak langsung yang diakibatkan olehnya. Karena bukan tidak sedikit diantara kaum muslimin yang masih beranggapan musik, nasyid, qasidah dan sejenisnya itu dibolehkan!?

DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKAN MUSIK
Dalam bukunya Syaikh Al-Albani mengemukakan beberapa hadist tentang pengharaman alat-alat musik dan lagu:
بَابُ مَاجَاءَ فِيْمَنْ يَسْتَحِلُ الْخَمْرَ وَ يُسَمِّهِ يِغَيْرِ اسْمِهِ وَقَالَ هِشامُ يْنُ خَالدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمنِ بْنُ يَزِيْدَ بْنُ جَابِرٍ حَدَّثюنَا عَاطِيَةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلابِيًُّ حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ اْلأَشْعَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أبُوْ عَامِرٍ أَوْ أَبُوْ مَالِكٍِ اْلأَشْعَرٍِيِّ وّاللَّهِ مَا كَذَبَنِي سَمِعَ النَّبِيِّ  يَقُوْلُ لِيَكُوْنَنّ مِنْ أأُمَّتِّي أَقْوَامُ إلىَ جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأتِهِمْ يَعْنِيْ الفَقِيْرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُوْنَ ارْجِعْ إلَيْنَ غَدًا فَيُبَيِّتُهُمْ اللَّهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ اخَرِيِنَ قَرِدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَىيَوْمِ القِياَمَةِ

“Bab seputar orang yang menghalalkan khamr dan menghalalkannya dan menamakannbya dengan nama lain. Hisyam bin Ammar berkata, kami diberi tahu Shadaqah bin Khalid, kami diberitahu Abdurraaman bin yazid bin Jabir, kami diberitahu Athiyah bin Qais Al-Kilabi, kami diberitahi, Abdurrahnman bin Ghanm Al-Ays’ary, dia berkata, aku diberitahu Amir atau Malik Al-Asy’ary, dan Demi Allah dia tidak berdusta kepadaku, dia mendengar Nabi  bersabda, Benar-benar akan muncul segolongan orang dari umatku yang akan menghalalkan zinz, sutra, minuman keras dan alat-alat musik, dan benar-benar akan muncul segolongan yang akan menatap puncakgunung, lalu datang dan membawa ternaknya, mendatangi mereka untuk sebuah keperluan. Mereka berkata, datanglah kemari keesokan hari, maka pada malam itu Allah membinasakan mereka dan meluluh lantakkan gunung yang mereka tempati serta mengubah sebagian di antara mereka (yangtidak biasa) menjadi kera dan babi di hari kiamat”

Di dalam hadist ini terkandung ancaman dan peringatan yang keras terhadap orang yang mencari akal-akalan mengubah nama sesuatu yang diharamkan menjadi nama lain. Ketetapan hukum berlaku bersama alasan. (Shahih Al-Bukhari no 5590, Musnad Imam Ahmad V/342, Sunan Abu Daud no. 3688, Sunan Ibnu Majah no. 4036).
Sesungguhnya mendengarkan nyanyian atau lagu hukumnya haram dan merupakan perbuatan mungkar yang dapat menimbulkan penyakit, kekerasan hati dan dapat membuat kita lalai dari mengingat Allah serta lalai melaksanakan shalat. Kebanyakan ulama menafsirkan kata lahwal hadits (ucapan yang tidak berguna) dalam firman Allah dengan nyanyian atau lagu.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا
"Artinya : Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan ucapan yang tidak berguna".[Luqman : 6]
Abdullah bin Mas'ud  bersumpah bahwa yang dimaksud dengan kata lahwul hadits adalah nyanyian atau lagu. Jika lagu tersebut diiringi oleh musik rebab, kecapi, biola, serta gendang, maka kadar keharamannya semakin bertambah. Sebagian ulama bersepakat bahwa nyanyian yang diiringi oleh alat musik hukumnya adalah haram, maka wajib untuk dijauhi. Dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau berpendapat.
Adapun pernikahan, maka disyariatkan di dalamnya untuk membunyikan alat musik rebana disertai nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan suatu pernikahan, yang didalamnya tidak ada seruan maupun pujian untuk sesuatu yang diharamkan, yang dikumandangkan pada malam hari khusus bagi kaum wanita guna mengumumkan pernikahan mereka agar dapat dibedakan dengan perbuatan zina, sebagaimana yang dibenarkan dalam hadits shahih dari Nabi 
Sedangkan genderang dilarang membunyikannya dalam sebuah pernikahan, cukup hanya dengan memukul rebana saja. Juga dalam mengumumkan pernikahan maupun melantunkan lagu yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan pernikahan tidak boleh menggunakan pengeras suara, karena hal itu dapat menimbulkan fitnah yang besar, akibat-akibat yang buruk, serta dapat merugikan kaum muslimin. Selain itu, acara nyanyian tersebut tidak boleh berlama-lama, cukup sekedar dapat menyampaikan pengumuman nikah saja, karena dengan berlama-lama dalam nyanyian tersebut dapat melewatkan waktu fajar dan mengurangi waktu tidur. Menggunakan waktu secara berlebihan untuk nyanyian (dalam pengumuman nikah tersebut) merupakan sesuatu yang dilarang dan merupakan perbuatan orang-orang munafik.
[Bin Baz, Mjalah Ad-Dakwah, edisi 902, Syawal 1403H]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

Hukum Membaca dan Menyentuh Al-qur’an Bagi Wanita Haid dan Nifas

Tidak sebagaimana jenis ibadah yang yang lainnya, tantang membaca dan menyentuh al-Qur’an bagi wanita haid atupun nifas terjadi banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Berikut perinciannya:

1. MEMBACA AL-QUR’AN
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum membaca Al-Qur’an bagi para wanita yang sedang haid da nifas:
Pertama, Sebagian ulama mengharamkan hal itu dan memasukkan dalam kategori orang yang sedang junub. Mereka berdalil dengan riwayat dari Nabi  yang melarang orang junub untuk membaca Al-Qur’an, karena janabat termasuk hadas besar. Haidh tidak berbrda dengannya, demikian pula nifas. Karena itulah mereka berpendapat bahwa wanita haidh dan nifas tidak boleh membaca Al-Qur’an, hingga mereka suci. Mereka berdalil pula dengan hadits riwayat At-Tirmidzi dari Ibnu Umar  bahwa ia berkata: ”Wanita haidh dan junub tidak boleh membaca Al-Qur’an”
Kedua, Sementara sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa wanita yang dalam keadaanhaidh dan nifas diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan hafalan. Karena masa haidh panjang tidak bisa dianalogikan dengan yang sedang junub yang waktunya hanya sebentar,dimana ia bisa segera mandi selepas junubnya dan langsung membaca Al-Qur’an. Sedang wanita haidh dan nifas ttidak mungkin demikian. Hadits yang dinyatakan oleh golongan orang yang melarang dinyatakan lemah dan telah dilemahkan oleh para ulama hadts, karena diantara periwayatannya ada Ismail bin Iyasy dari orang-orang Hijaz. Sedang riwayat Ismail bin Iyasy dari oarang-orang hijaz termasuk riwayat yang lemah. Pendapat inilah yang benar.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz termasuk berpendapat diperbolehkannya wanita haidh membaca Al-Qur’an. Beliau menyebutkan dalam Fatawa An-nisa’iyyah bahwa tidak ada dalil secarara sharih melarang wanita haidh membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf. Sehingga boleh baginya membaca dengan hafalan atau menggunakan hai’l (perantara) ketika perlu membuka mushaf.
Oleh karena itu wanita yang sedang haidh dan nifas diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan hafalan karena masa haidhnya panjang tidak bisa disamakan dengan junub. Bagi pelajar putri diperbolehkan membaca Al-Qur’an baik dalam kegiatan belajar maupun ujian, dari hafalan, bukan dengan membaca mshaf langsung. Apabila diperlukan untuk membaca Al-Qur’an dari mushaf, diperbolehkan baginya dengan syarat harus ada pembatas, misalnya sarung tangan dan sejenisnya.

2. MENYENTUH AL-QUR’AN
Tidak dibolehkan bagi wanita yang haidh dan nifas menyentuh mushaf tanpa penghalang, karena mushaf tidak boleh disentuh kecuali dalam kondisi suci. Berdasarkan firman Allah  :
لَايَمَسَّهُ إِلَّا الٌمُطََهَّرُوْنَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (Al-Waqi’ah:79)

Dan surat yang ditulis pleh Rosulullah  kepada Amr bin Hazm :

لاَيَمَسَّ الْمُصْحَفَ إِلاَّطَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang-orang yang disucikan” (HR.An-Nasa’idan lainnya)
Hadits ini hampir menyerupai hadits mutawatir, karena manusia bisa menerimanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimallahu’anhu berkata: ”madzhab imam enpat menyebutkan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang dalam keadaan suci. Sedangkan membaca mushaf bagi wanita haidh tanpa menyentuhnya, disinilah para ulama berselisih pendapat. Yang lebih selamat hendaknya tidak usah membaca kecuali dalam kondisi membutuhkannya, seperti a\takut lupa surat yang dihafalnya.

Lalu bagaimana hukum membaca kitab tafsir yang bertuliskan ayat Al-Qur’an???
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan dalam ”Al-Fatawa Al-jami’ah Lil Mar’ah Al-Mislimah” ia berkata: Tida’ apa-apa bagi wanita Haidh dan nifas untuk membaca kitab-kitab yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an atau ayat-ayat yang ditafsirkan. Diperbolehkan pula untuk menuliskan dalam suatu makalah atau sejenisnya. Boleh pula mempergunakannya sebagai dalil atas suatu hukum, atau embacanya sebagai doa wirid dan sebagaio nya, karena hal itu tidak dikategorikan sebagai membaca Al-Qur’an. Diperbolehkan pula baginya untuk membawa buku-buku tafsir dan sejenisnya untuk suatu keperluan.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama wanita haidh dan nifas tidak membaca Al-Qur’an secara lisan, keculi jika diperlukan. Misalnya seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membscs Al-Qur’an kepada siswa-siswanya, atau seorang siswi pada waktu ujian perlu diuji dslsm membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Sedang membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dalam lisan maka ti8dak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau lembaran Al-Qur’an diletakkan, lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatiny membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqih, doa, dan aminnya, serta mendengarkannya Al-Qur’an, maka tidak diharamkan bagi wanita haidh. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih al-Bukhary-Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi  pernah bersandar dipangkuan ’Aisyah Radhiyallaahu ’anhuyang ketika itu sedang haidh, lalu beliau membaca Al-Qur’an.
Sabda Nabi:
افْعَلِي كَمَا يَفْعَلْ الْحَاجُّ غَيْرَ أنْ لاَتَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِ
”Lakukanklah apa yang dilakukan jamaah haji, hany saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci” (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa selain thawaf wanita haidh dianjurkan tetap melakukan ibadah yang dilakukan esbagaimana orang yang berhaji. Sedanmgkan di dalam ibadah haji itu ada dzikir, talbiyah, maupun do’a. Wallohu A’lam.

Hukum Meminum Pil Anti Haid

HUKUM MEMINUM PIL ANTI HAID
Why
What?
Where?
When?
Who?
How?
Sudah menjadi kebiasaan wanita normal untuk kedatangan tamu setiap bulannya. Kita biasa menyebutnya sebagai darah haid. Yaitu suatu darah yang keluar dari dalam rongga rahim secara rutin akibat tidak terbuahinya sel telur, sehingga lapisan endometrium yang terdapat pada dinding rahim itu mengelupas dan menjadi darh haid.
Siklus darah haid bagi wanita normal sekitar 28 hari setiap bulannya. Dimulai dari hari pertama keluarnya Darah tersebut mempunyai ciri yang yang dapat dikenali.
Darah haid adalah darah kotor yang merupakan darah penyakit, yang jika tidak keluar niscaya akan timbul berbagai penyakit.
Dalam beberapa kesempatan, wanita tidak menginginkan darah tersebut keluar. Dikarenakan tidak mau tertinggal dalam beberapa ibadah. Untuk mengatasi masalah tersebut para uanita mengambil solusi yaitu dengan meminum pil anti haid. Bolehkah dilakukan???
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, hal ini tidak perlu dilakukan oleh kaum wanita. Tetaplah pada ketetapan yang ditentukan Allah kepada kaum wanita, karena dibalik darah haid itu ada hikmah yang tersendiri, yang sesuai dengan tabiat wanita. Jadi jika kebiasaan itu dicegah, timbul dampak sampingan. Nabi bersabda:
لاضررولاضرار
Jika dilihat akibat dari pil-pil tersebut, yaitu adanya bahaya yang megancam rahim. Juga terlihat tidak mensyukuri atas nikmat yang telah Allah berikan. Tapi hokum awalnya itu boleh

Hukum Ikhtilath Dalam Belajar

Di dalam syariat yang mulia ini, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram diharamkan bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya hijab/ pemisah antara keduanya (ikhtilath). Sama saja apakah ikhtilath itu terjadi di pasar, kantor, tempat pesta ataupun di tempat pengajaran ilmu seperti sekolah, madrasah, dan semisalnya. Karena dalam agama ini disyariatkan hijab1 antara laki-laki dan perempuan dan diperintahkan kepada masing-masing untuk menundukkan pandangan mata dari melihat hal-hal yang dapat menjerumuskan ke dalam fitnah2 seperti lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya. Sementara ikhtilath merupakan penghalang terbesar untuk melaksanakan ketentuan agama tersebut. Dengan seringnya bersama-sama di bangku sekolah, sering bertemu, saling melempar pandangan dan ucapan, terjadilah apa yang terjadi dari fitnah. Rasulullah  telah menyatakan fitnah ini dalam sabdanya yang agung:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَة أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

إن الدنيا حلوة وخضرة وإن الله مسبخلفكم فيها فناظر كيف تعملون فالتقو الدنيا واتقو النساء فإن اول فتنة بني إسرائل كانت في النساء

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Dan sungguh Allah menjadikan kalian berketurunan di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim)
Demikian bahayanya akibat yang ditimbulkan ikhtilath ini berupa kerusakan moral dan akhlak, sepantasnya kita tidak meremehkan dengan alasan darurat dan semisalnya. Tapi sikap yang semestinya kita ambil adalah berhati-hati dan menjaga diri dari ikhtilath ini.
Dalam hal ini Syikh Muhammad bin Ibrahim telah mengeluarkan fatwanya, Bahwasannya bercampur baurnya wanita dan laki-laki ada tiga kemungkinan :
Perama, Wanita berkumpul dengan laki –laki yang merupakan mahromnya. Ini jelas tidak dilarang.
Kedua, Berkumpulnya wanita dengan lelaki asing untuk tujuan yang tidak benar. Hal ini jelas terlarang.
Ketiga, Berkumpulnya wanita ditempat menuntut ilmu, dipertokoan, perkantoran rumah sakit, perayaan-perayaan dan lain lainnya.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah ketika memberikan fatwa dalam permasalahan di atas beliau menyatakan: “Duduknya siswa dan siswi secara bersama-sama di bangku sekolah termasuk sebab terbesar terjadinya fitnah dan sebab ditinggalkannya hijab yang Allah syariatkan kepada kaum mukminat. Serta merupakan sebab dilanggarnya larangan-Nya kepada kaum mukminat untuk menampakkan perhiasan mereka di hadapan selain pihak-pihak yang disebutkan dalam surat An-Nur.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Para wanita (shahabiyyah) di masa Nabi  tidak pernah ikhtilath dengan lelaki (para shahabat) baik di masjid ataupun di pasar, sebagaimana ikhtilath yang diperingatkan oleh orang-orang yang ingin mengadakan perbaikan di hari ini dan Al-Qur’an, As-Sunnah serta ulama umat ini telah memberikan bimbingan untuk menjauhinya karena khawatir dari fitnahnya.
Dulunya para wanita biasa ikut shalat di masjid Nabi  namun mereka berada di belakang laki-laki pada shaf-shaf yang terakhir yang dinyatakan Nabi  :

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling awal dan sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir. Sementara shaf wanita yang terbaik adalah yang paling akhir dan shaf yang paling jelek adalah yang paling depan.” (HR. Muslim)
Beliau  menyatakan demikian karena khawatir laki-laki yang ada di shaf paling belakang terfitnah dengan wanita yang berada di shaf terdepan mereka. Kaum lelaki (para shahabat) di masa Nabi  diperintah untuk tidak bersegera bangkit dari tempat shalatnya sampai para wanita berlalu dan keluar dari masjid, hal ini dilakukan agar lelaki tidak bercampur dengan para wanita di pintu-pintu masjid, padahal kita tahu keberadaan keimanan dan ketakwaan para shahabat dan shahabiyyah, maka bagaimana dengan keadaan orang-orang setelah mereka.
Kaum wanita dilarang oleh Rasulullah  untuk berjalan di tengah jalan bahkan mereka diperintah untuk selalu berjalan di pinggir jalan karena dikhawatirkan akan bersenggolan dengan lelaki dan timbul fitnah dengan saling bersentuhannya sebagian mereka terhadap sebagian yang lain ketika berjalan di jalanan.
Terhadap ucapan orang yang mengatakan: “Kenyataan yang ada kaum muslimin sejak masa Rasulullah  mereka menunaikan shalat di satu masjid, laki-laki dan wanita, karena itulah pengajaran ilmu harus pula dilakukan di satu tempat.”
Maka dijawab bahwa hal itu benar adanya akan tetapi kaum wanita berada di belakang dengan berhijab, menjaga diri dari sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada fitnah sementara laki-laki berada di bagian depan. Kaum wanita ini mendengarkan nasehat, khuthbah dan ikut shalat berjamaah serta mempelajari hukum-hukum agama dari apa yang mereka dengar dan saksikan. Adalah Nabi  pada hari ‘Ied mendatangi tempat mereka untuk memberikan nasehat dan peringatan setelah beliau menasehati kaum lelaki, dikarenakan tempat mereka jauh dari tempat laki-laki sehingga mereka tidak dapat mendengar nasehat Rasulullah .
Lalu bagaimana bisa disamakan pengajaran di masa kita ini dengan shalatnya laki-laki dan wanita dalam satu masjid di masa Nabi ?
Karena itulah orang-orang yang mengadakan perbaikan menyerukan agar kaum wanita dipisah dengan kaum lelaki dalam pendidikan/sekolah-sekolah, laki-laki di satu tempat, wanita di tempat lain. Sehingga memungkinkan bagi kaum wanita ini untuk mempelajari ilmu dari pengajar/ guru wanita dengan nyaman tanpa mereka harus berhijab dan tanpa kesulitan, karena waktu ta‘lim itu panjang berbeda dengan waktu mengerjakan shalat. Dan juga wanita belajar ilmu dari pengajar wanita di tempat yang khusus lebih menjaga bagi semua pihak dan lebih menjauhkan dari sebab-sebab yang mengantarkan kepada fitnah dan lebih menyelamatkan bagi para pemuda dari fitnah. Selain itu memisahkan pemuda dan pemudi dalam pengajaran/ sekolah lebih memusatkan perhatian pemuda kepada pelajaran mereka dan menyibukkan diri dengannya, serta mendengarkan penjelasan guru/pengajar dengan baik. Mereka dijauhkan dari memperhatikan para pemudi, menyibukkan diri dengan mereka, saling pandang memandang dengan pandangan beracun dan saling mengucapkan kata-kata yang mengajak kepada kefajiran.” (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no. 15, hal. 6-11, sebagaimana dinukil dalam kitab Hukmul Ikhtilath fit Ta‘lim)
Dari penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa ikhtilath merupakan perkara yang dilarang dalam agama ini sehingga seorang lelaki tidak boleh berikhtilath dengan seorang wanita dan namanya ikhtilath tetap dilarang meskipun untuk kepentingan belajar. Wallahu a‘lam bish-shawab.

Hukum Adzan Bagi Wanita

Adzan merupakan salah satu dari syiar Islam yang disyari’atkan dalam agama ini. Adzan adalah suatu tanda bahwa waktu shalat telah tiba. 
 وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمُُ لاَّ يَعْقِلُون.﴿ الما ئدة:۵۸ ﴾
     Kaifiyah adzan disyariatkan melalui mimpi dan bahkan bertepatan dengan
Hukum Adzan. 
-    Menurut mujahid bahwa adzan dan iqomah wajib hukumnya

Birrul Walidain Bagi Wanita

Selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari seorang wanita yang begitu jelita telah mengandung kita. Ke mana-mana kita selalu dibawanya. Di saat kita sudah menginginkan untuk hidup bebas di dunia luar dan melihat keindahannya, beliau telah menaruhkan nyawanya untuk kita. Setelah kita hidup bebas di dunia beliau merawat kita dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tak terbatas. Beliau merelakan seluruh waktunya untuk merawat kita. Beliaulah ibu kita.
Di lain pihak juga ada seorang ksatria yang tampan memeras keringatnya hanya untuk membelikan kita makanan, pakaian, berbagai mainan,, biaya pendidikan kita, serta kebutuhan kita yang lainnya. Beliau tak pernah mengeluhkan rasa capeknya, meskipun sebenarnya beliau sangatlah capek. Beliau selalu berusaha agar semua kebutuhan kita dapat terpenuhi. Beliaulah ayah kita.
 Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada kita semua baik laki-laki maupun perempuan  untuk berbakti kepada  kedua orang tua kita, untuk memperlakukan mereka berdua dengan sebaik-baik perlakuan sampai mereka berdua meninggalkan alam yang fana ini (dunia). Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah  dalam ayat-Nya:
وَقَضى رَبُّكَ أَلّا تَعبُدُوا إِلّا إِيّاهُ وَبِالوَلِدَينِ إِحساناً إِمّا يَبلُغَنَّ عِندَكَ الكِبَرَ أَحَدُهُما أَو كِلاهُما فَلا تَقُل لَهُما أُفٍّ وَلا تَنهَرهُما وَقُل لَهُما قَولاً كَريماً وَاِخفِض لَهُما جَناحَ الذُلِّ مِنَ الرَحمَةِ وَقُф رَبِّ اِرحَمهُما كَما رَبَّياني صَغيراً
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mepeka perkataan yang mulia.” (QS Al-Isra’: 23)
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang
tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan
bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah,
kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang
diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan
keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar
batasan-batasan Allah ).
Bahkan jiga kita dihadapkan dengandua pilihan antara berbakti kepada kedu orang tua dengan melakukan amalan sunnah ataupun berjihad di mana jihad tersebut hukumnya masih fardlu kifayah, maka kita diharuskan untuk memilih berbakti kepada kedua orang tua kita. Hal ini dikarenakan hokum daripada birul walidain itu adalah fardlu ‘ain. Namun jika kita dihadapkan dengan dua pilihan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan suatu perintah dari Allah  yang hukumnya itu fardlu ‘ain, maka kita harus memilih untuk meljalankan perintah dari Allah  tersebut daripada berbakti kepada kedua orang tua.

Berbaktinya Seorang Anak Wanita Di Saat Masih Sendirian (Belum Nikah)
Seorang anak wanita yang belum menikah itu sama halnya seorang anak laki-laki dalam hal berbakti kepada orang tua. Yaitu dengan mentaati semua yang telah mereka perintahkan selama hal tersebut tidak menyimpang dari syari’at islam, mendahulukan meemnuhi panggilannya daripada melakukan amalan sunnah, tidak mengucapkan perkataan “Ah” atau perkataan kasar lainlya, serta mendoakan keduanya, baik di saat hidupnya maupun di saat matinya.
Dari kedua orang tua kita yang paling kita hormati ialah seorang ibu. Abu Hurairah berkata: “seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘wahai rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku hormati dengan baik?’ beliau menjawab, ‘Ibumu’, ia bertanya, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’, ia bertanya, ‘kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’, ia bertanya, ‘kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ayahmu.’” (H.R. Al-Bukhori)
Islam sangat mengutamakan berbuat baik kepada ibu disbanding ayah, karena dua sebab:
    Sesungguhnya perhatian seorang ibu kepada anak dengan cara mengandung, melahirkan, dan menyusuinya, serta bertanggung jawab atas segala urusan dan pendidikannya, lebih banyak daripada ayah. Sebagaimana firman Allah :
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqman: 14)
    Sesungguhnya seorang ibu lebih banyak perhatian dan pemeliharaannya daripada ayah.

Berbaktinya Seorang Anak Wanita Yang Telah Menikah
Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah, maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah  berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi  bersabda dalam haditsnya:
 الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهюا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu.”
 Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah  bersabda:

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ Юَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi , beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
(HR. At-Tirmidzi.Hadits ini hasan)
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah  dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu' kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah  bersabda:
 أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بюأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa maka haram baginya mencium wanginya surga.”
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah , misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah  dan Rasul-Nya  perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya  untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
 Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah  perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia melgerjakan perbuatan yang Allah  larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi  bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.” Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah , tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah  dan Rasul-Nya , sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah  dan Rasul-Nya.” Wallahu a’lam bish-shawab.

Reference:
    Al-Qur’an Al-Karim
    Fatwa-Fatwa Tentang Wanita jilid 3, Amin bin Yahya Al-Wazan
    Fiqh Wanita, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah
    Majmu’atul Fatawa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
    Kitab Akhlaq dan Ar-Riqooq
    Pendidikan Anak Dalam Islam

Haidnya Wanita Yang Terputus-Putus

Banyak sekali kejanggalan-kejanggalan yang terdapat pada kepribadian wanita yaitu tentang darah haid. Darah haid adalah darah kotor yang dikeluarkan rahim yang dialami oleh wanita yang sudah baligh pada waktu tertentu sekali dalam sebulan dqan memiliki cirri-ciri terteltu. Dalam masalah lamanya waktu haid seorang wanita, terjadi perbedaan pendapat antar ulama’.
Menurut madzhab Hanafiyah, mereka berkata: “Bahwa sesungguhnya waktu paling sedikitnya haid seorang wanita itu adalah tiga hari tiga malam, dan waktu paling lamanya adalah sepuluh hari sepuluh malam. Itu semua dilihat dari kebiasaannya waktu haid setiap bulannya, dan tidak harus menunggu sampai sepukuh hari dulu baru mandi janabat. Misalnya seorang wanita haidnya tiga hari. Jika setelah tiga hari itu sudah tidak ada darah yang keluar lagi, maka ia harus segera mandi janabat. Namun ternyata pada bulan lain berubah menjadi empat hari atau lima hari, maka darah tersebut masih terhitung darah haid karena masih dalam waktu-waktu haid. Tapi jika sudah lebih dari sepuluh hari kok masih keluar darah, maka darah tersebut bukan termasuk darah haid, melainkan darah istihadhoh.”
Sedangkan menurut madzhab Malikiyah, mereka berkata: “tidak ada ketentuan mengenai batas minimal waktu haid. Jika darah tersebut hanya keluar dalam waktu satu hari saja, maka darah tersebut termasuk darah haid. Sedangkan untuk batas maksimal waktu haid itu adalah lima belas hari. Jika lebih dari lima belas hari masih keluar darah, maka darah tersebut tidak termasuk darah haid, melainkan darah istihadhoh.”
Hamnah binti Jahsyin, dia menceritakan:

كنت أستحاض حيضة كثيرة شديدة فأ تيت النبي أستفتيه فقا ل إنماهي ركضةمن الشيطان فتحيضي ستة أيام أوسبعة أيام ثم اغتسلي فيذا استنقأ ت فصلي أربعة يوما أو ثلا تة وعشرين يوما وصومي وصلي فإن ذلك يجزئك وكذلك فا فعلي كل شهر كما تحيض النساء
“Aku pernah mengalami istihadhah, darah yang keluar itu sangat banyak. Lalu aku datang kepada Nabi  untuk meminta fatwa kepadanya. Maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya darah itu keluar akibat hentakan dari setan. Jalanilah masa haidmu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah melihat bahwa dirimu telah suci dan bersih, maka shalatlahpada dua puluh empat atau dua puluh tiga hari berikutnya (pada masa suci) serta puasalah. Cara seperti itu yang boleh kamu lakukan. Di samping itu, lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani masa haid setiap bulannya.” (H.R.Tirmidzi)
Dari pendapat tersebut yang paling rajah adalah pendapatnya madzhab malikiyah, yaitu batas maksimal waktu haid itu adalah lima belas hari sedangkan waktu minimalnya tidak ditentukan. Oleh karena itu, jika keluar darah yang memiliki ciri-cirinya darah haid, maka wanita tersebut tidak boleh mengerjakan shalat, shaum (puasa), menetap di masjid, thowaf, hubungan suami istri, dan beberapa hal lain yang telah dilarang oleh syari’at Islam. Dan jika seorang wanita mengeluarkan darah lebih dari lima belas hari, maka itu termasuk darah istihadhoh. Rasulullah  bersabda, “Jika darah haid, maka ia berwarna hitam seperti diketahui banyak wanita. Jika yang keluar adalah darah seperti itu, maka tinggalkanlah shalat. Jika yang keluar adalah darah lain (warnanya, yakni darah istihadhah), maka berwudhulah setelah mandi dan laksanakan shalat. Karena, darah tersebut adalah penyakit.” (H.R. Abu Dawud, An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Adapun kejanggalan yang dialami seorang wanita lainnya adalah mengalami haid dalam waktu yang terputus-putus. Misalnya selama dua hari ia keluar darah (haid) kemudian selama tiga hari berikutnya sudah tidak keluar lagi darah lagi yang menunjukkan darah haid, maka selang waktu antara haid satu dengan haid yang lain itu dia mempunyai kewajiban untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan boleh melakukan hubungan suami istri. Namun bila keluarnya itu sudah melebihi dari batas maksimal waktu haid (lima belas hari), maka darah tersebut tidak dihukumi darah haid, melainkan darah istihadhah. Serta jika keluar cairan kekuning-kuningan atau berwarna keruh setelah lewat masa suci, maka itu bukan termasuk darah haid dan dihukumi sama dengan air kencing. Tapi jika keluarnya cairan kekuning-kuningan atau berwarna keruh itu pada saat tengah menjalani masa haid,maka darah tersebut termasuk darah haid, sehingga ia belum diharuskan untuk mandi, melaksanakan shalat, dan puasa. Ummu ‘Athiyah berkata:
كنا لا نعدالصفرة والكدرةبعدالطهرشييئا
“Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna kekuning-kuningan atau yang berwarna keruh setelah lewat masa bersuci.” (H.R. Al-Bukhori)
Jadi darah haid itu selain dapat dikenali dengan warnanya, juga dapat dikenali dengan waktu kebiasaannya haid. Jika keluar darah terus menerus sebelum lima belas hari, maka darah tersebut masih termasuk darah haid. Dan jika darah tersebut keluar secara terputus-putus, maka selang waktu antara haid yang satu dengan haid lainnya itu dia harus mandi janabat dan melakukan semua perintah-perintah Allah .


Referensi:
    Fiqh Wanita, Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah
    Fatwa Ulama’ Bagi Wanita, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Shalih ‘Utsaimin
    Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Amin bin Yahya Al-Wazan
    Fiqhnya Empat Madzhab, ‘Abdurrahman Al-Jazairi

DARAH

A.    DARAH MANUSIA

     Terjadi  perbedaan pendapat dalam menyikapi darah manusia,tetapi yang terkenal dalam  madzhab – madzhab fiqhiyah bahwa darah itu najis. Dan mereka tidak mempunyai hujjah kecuali nash Al-qur’an yang mengharamkan darah. Seperti dalam firman Allah  surat Al-an’am : 145 
قُل لآأَجِدُ فِي مَآأُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَعَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : “ Katakanlah tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku , sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya. Kecuali daging hewan yang mati ( bangkai ), darah yang mengalir , daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi ( batas darurat ) maka sungguh Tuhanmu maha pengampun, maha penyayang”.
Maka mereka menetapkan pengharaman najis –seperti yang mereka sikapi tentang khamr -.Tapi para ulama tidak hanya menukil  mengambil dari satu ijma saja tentang kenajisannya . Berikut penjelasannya :
1.    Sesungguhnya, asal dari sesuatu itu suci, kecuali sampai adanya dalil yang menjadikannya najis. Dan kami tidak mengetahui bahwa Nabi  memerintahkan untuk mencuci darah. Padahal ketika itu banyak orang yang terkena luka dan sejenisnya. Seandainya darah itu najis pasti Nabi  akan menerangkannya karena itu sangat penting.
2.    Bahwasanya kaum muslimin mereka tetap shalat dengan keadaan terluka, dan luka itu mengeluarkan darah yang banyak yang tidak bisa dihilangkan. Dan tidak ada perintah Nabi  untuk mencucinya.
      Hasan berkata : “ Kaum muslim tetap melakukan shalat dalam keadaan terluka”. Dan ada hadits tentang sahabat anshor yang sedang mengerjakan shalat malam, maka ada seorang musyrik yang memanahnya. Dia mengambil dan mencabut panah tersebut sampai dia dipanah tiga kali. Kemudian dia ruku’ dan sujud, sedang dia dalam keadaan berlumuran darah kemudian dia menyelesaikan shalatnya.
      Albani berkata : “ Nabi  tidak berkomentar tentang itu. Kalau seandainya darah yang banyak itu pembatal, pasti dia akan menjelaskannya. Karena mengakhirkan penjelasan pada waktu yang diperlukan tidak boleh. Seperti kita ketahui dalam ilmu ushul fiqih. Nabi  tidak akan menyembunyikan hal tersebut. Karena Allah  maha mengetahui segala sesuatu yang di langit dan di bumi. Kalau seandainya, darah itu pembatal atau najis pasti Allah  akan mewahyukan pada nabi tentang hal itu.
-    Dan dalam hadits terbunuhnya Umar bin khattab  ’’Umar shalat dan lukanya mengalirkan darah’’.
-    Hadits A’isyah r.a dalam kisah kematian Sa’ad bin Mu’adz A’isyah berkata: ’’Ketika Sa’ad bin Mu’adz berada pada perang khandaq seseorang memanahnya pada kelopak matanya,maka Rosulullah  membuatkan sebuah kemah di dalam masjid agar dapat mengunjunginya dengan dekat.Maka pada suatu malam lukanya memancarkan darah dan mengalirlah darah dari luka tersebut sampai orang khoba’ masuk ke sampingnya maka mereka berkata,” Wahai ahlul khoba’ apakah yang mendatangi sebelum kalian ini? ’’maka mereka melihatnya .ternyata itul adalah Sa’ad yang telah terluka dan lukanya mengalirkan darah kemudian dia wafat. Dan tidak ada perintah dari nabi  untuk menyiramkan air di atasnya,padahal itu di dalam masjid, sebagaimana dia memerintahkan untuk menyiram kencingnya seorang arab badui”.

B.    DARAH HEWAN YANG DIMAKAN

       Maka pendapat didalamnya seperti pendapat tentang darah manusia, karna tidak    adanya dalil yang menunjukkan bahwa itu najis. Dan pendapat tentang kesucian darah ini dikuatkan dengan hal berikut:
-    Hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata : ” Sesungguhnya Nabi  shalat di ka’bah sedangkan Abu Jahl duduk disana, kemudian sebagian dari mereka berkata dengan sebagian yang lain,” Wahai kaumku siapa yang pergi ke tempat penyembelihan hewan keluarga si fulan hendaknya dia mengambil darahnya dan kotorannya”. Kemudian ada yang datang membawa kotoran dan darah tersebut, maka dia menunggu sampai Nabi  sujud, kemudian dia meletakkannya diatas bahu nabi, kemudian bangkitlah orang yang paling celaka diantara mereka ketiia Rosulullah  sujud mereka meletakkan lagi di kedua bahunya dan Nabi  tetap sujud, kemudian mareka tertawa”.
    Kalau seandainya darah hewan sembelihan itu najis pasti nabi akan membuang pakaiannya dan membatalkan shalatnya. Dan telah dishohihkan, bahwasannya Ibnu Mas’ud shalat dan di atas perutnya kotoran dan darah hewan sembelihan qurban dan dia tidak berwudhu. Namun  atsaar ini tidak mutlak dijadikan dalil atas kesucian darah hewan.
    Penulis berkata : Seandainya ijma telah tetap atas najisnya darah, maka kita tidak menoleh ke dalil yang mutaakhir dan jika belum ditetapkan, maka aslinya adalah suci. Dan yang jelas bagi kita setelah penelitian terhadap pendapat tentang sucinya darah, bahwasanya ijma dalam masalah ini tetap. Lebih dari satu para ahli ilmu telah menukilnya dan tidak menetapkan apa yang menolaknya. Adapun nukilan itu yang paling tinggi adalah apa yang dinukilkan oleh imam Ahmad kemudian dinukilkan Ibnu hajm untuk menyelisihi orang-orang yang menganggap madzhabnya berpendapat darah itu suai. Adapun perinciannya adalah :
-    Ibnu Qoyyim berkata dalam IGHOFATUL LAHFAN, Ahmad ditanya darah dan luka yang bernanah samakah menurut pendapatmu? Dia berkata tidak. Nanah itu lebih mudah dari pada darah. Dan telah dinukil oleh Ibnu hajm dalam MARAATIBUL IJMA’ , Ulama telah bersepakat atas hukum najisnya darah. Dan Ibnu Abdul Baar berkata dalam ATTAMHID  semua darah itu dihukumi seperti darah haidh, kecuali darah yang sedikit itu diperbolehkan atau dimaafkan. Karena Allah telah mensyaratkan dalam menghukumi najisnya darah. Hendaknya darah itu mengalir, maka dalam hal itu darah adalah kotoran, dan kotoran adalah najis. Dan inilah ijma kaum muslimin bahwasanya darah yang mengalir itu adalah darah kotoran dan najis. Para ulama bersepakat bahwasanya darah haram dan najis, tidak boleh dimakan dan tidak ada manfaatnya. Dan Allah telah menerangkan darah secara mutlak didalam Al-Qur’an surat Al-an’am : 145 , sebagai muqayyadnya darah yang mengalir.
An-nawawi berkata dalam majmu’, tentang dalil najisnya darah dengan jelas, aku tidak mengetahui adanya perbedaan diantara kaum muslimin didalamnya. Kecuali apa yang diceritakan oleh shohibul hawaa, dari sebagian orang bahwasanya dia berkata bahwa darah itu suci.
-    Sesungguhnya Ibnu Rusydi ketika menyebutkan perbedaan ulama dalam hal darah ikan. Dia menyebutkan bahwasannya sebab ikhtilaf mereka itu adalah perbedaan mereka dalam hal bangkainya. Barang siapa yang menjadikan bangkainya termasuk dalam keumuman keharaman,maka dia menjadikan darahnya seperti itu. Tapi barang siapa yang tidak memasukkan bangkainya dalam keharaman maka darahnya juga tidak masuk sebagai qiyas atas bangkai tersebut. Dan kami berpendapat tentang sucinya bangkai manusia maka begitu juga dengan darahnya”.
Penulis (Abu malik kamal bin said salim) berkata : menurutku yang paling rojih, bahwasanya darah itu najis karena ketetapan ijma’. Sampai diambil dari imam Ahmad yang berpendapat bahwa darah itu suci.  
       Adapun pendapat madzhab-madzhab yang lain, tentang masalah darah adalah sebagai berikut :
1.    Madzhab syafi’i  mereka berpendapat akan najisnya semua darah kecuali empat macam, yaitu: susu hewan yang dimakan jika keluar seperti darah, dan mani jika keluar seperti warna darah juga, dan keluarnyaitu dari tempat yang biasa, dan telur jika warnanya menyerupai darah dengan syarat telur tersebut masih dapat menetas. Dan darah hewan jika telah berubah menjadi segumpal darah atau segumpal daging dengan syarat hewan tersebuttermasuk hawan yang suci.
2.    Madzhab maliki mereka berpendapat bahwa darah yang mengalir najiq tanpa terkecuali, walaupun darah ikan, dan mengalir disini maksudnya mengalir dari hewan tersebut. Adapun darah yang tidak mengalir seperti sisa darah yang terdapat pada urat hewan yang disembelih maka itu suci.
3.    Madzhab hanafi mereka berpendapat  akan sucinya darah hewan dan manusia dan sucinya darah yang menyerupai segumpal daging. Adapun jika menyerupai segumpal darah maka itu najis
        Menurut ijma’ ulama, seluruh darah yang mengalir dari hewan yang disembelih adalah najis, tetapi dimaafkan jika tepkena sedikit saja. Sedangkan darah yang terdapat pada urat ( dari daging hewan yang disembelih ) juga diberikan keringanan dan dimaafkan. ’Aisyah berkata : ” Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang menempel pada kuali”.
        Juga diberikan keringanan pada nanah, darah bisul dan darah kutu. Namun diutamakan agar sedapat mungkin orang menghindarinya karna pada dasarnya, islam merupakan agama yang menjunjung tinggi akan kebersihan.




Reference :

    ALFIQHU ’ALAL MADZAHIBIL ARBA’AH : ABDURRAHMAN AL-JAZIRI
    FIQIH WANITA : SYEKH KAMIL MUHAMMAD ‘UWAIDAH
    SHOHIH FIQH SUNNAH : ABU MALIK KAMAL BIN SAID SALIM
    MAJMU’ATUL FATAWA : TAQIYYUDDIN AHMAD IBNU TAIMIYAH










           


   



                                             

Rukhsoh Membuka Cadar Bagi Wanita

Jika kembali pada sejarah, pada awal permulaan datangnya islam hukum hijab tidak diwajibkan atas wanita, mereka menampakkan wajah dan kedua tangannya dihadapan para lelaki. Kemudian Allah  mewajibkan hijab bagi wanita untuk menjaga mereka dari pandangaan kaum lelaki asing dan untuk menjaga agar tidak diganggu, yaitu setelah firman Allah  dalam surat Al-Ahzab 53:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَاكَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ وَلآَأَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللهِ عَظِيمًا
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah  dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat.  Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah .”

Jumhur ulama menjelaskan tentang wajibnya hijab, Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam menyatakan bahwa:

ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الأَّئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ الأَعْلاَمِ وَعَلَي رَأْْسِهِْمْ الشَّافِعِي وَاَحْمَدْ و ماَلِكْ إِلَى أَنَّ وَجْهَ الْمَرْأَةٌ عَوْرَةّ أنَّ سَتْرَهُ وَاجِب ٌوَأَنَّ كَشْفهُ حَرَاَمٌ
“Jumhur ulama mujtahid terkemuka yang dipelopori oleh Imam Asy-Syafi’I, Imam Ahmad dan Imam Malik. Berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat. Menutupnya adalah wajib, dan membukanya adalah haram.”

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah menetapkan wajibnya bagi wanita menutup aurat demikian juga wajah dihadapan laki-laki selain mahramnya. Namun demikian, Ada beberapa ruhsoh membuka cadar bagi wanita dalam beberapa kondisi:

1. BOLEH MEMBUKA CADAR DI DEPAN MAHRAMNYA
2. WANITA YANG SEDANG IHRAM TIDAK BOLEH MENUTUP WAJAHNYA
Nabi  bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّه بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَلَ النَّبِيِّ: لاَ تَنْتَقِبِ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ القُفَّازَيْنِ
“Abdullah bin Umar berkata bahwa Nabi  bersabda, ”Perempuan yang berihram hendaklah tidak mengenakan niqab (cadar) dan tidak pula memakai sarung tangan.”

Hadist diatas hanyalah ujung dari sebuah hadits yang di dalamnya Rasulullah    menjelaskan pakaian apa saja yang tidak boleh dikenakan oleh wanita yang sedang ihram. Ditilik dari pengertian sebaliknya, hadist inimenjadi dalil bahwa wanita yang tidak berihram diperintahkan untuk menutup wajahnya dengan cadar.
Larangan mengenakan cadar bagi wanita yang sedang beriharam menjadi dalil bahwa wajah wanita bukanlah aurat seperti halnya paha, misalnya: wanita hanya diminta menutupi dari pandangan kaum lelaki nonmahram. karenanya, jika seorang perempuan tidak terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya, seperti di dalam rumah misalnya, ia tidak wajib menutup wajah.

3. MENGENAKAN HIJAB DARI WANITA KAFIR TIDAK WAJIB
    Dalam masalah ini ada dua pandangan. Pendapat yang kuat mengatakan untuk kasus ini tidak wajib (boleh) membuka cadar, karena mereka adalah wanita sebagaimana wanita yang lain. Dan karena hal itu tidak dikutip dari istri-istri Rasulallah  juga dari sahabat yang yang lain, ketika mereka berkumpul dengan wanita Yahudi di Madinah dan wanita penyembah berhala. Andaikan peristiwa itu pernah terjadi, tentulah peristiwa itu sudaah dikutip oleh para sahabat.

4. MENGENAKAN HIJAB DARI ORANG BUTA TIDAK WAJIB
    Sebagaimana disebutkan dalam hadist hal itu tidak wajib, karena Rasulullah   menyuruh Fatimah binti Qais radhiyallahu’anha untuk menghabiskan masa iddah di samping Ibnu Ummi Maktum  dan bersabda:
إِنَّهُ رَجُلُأَعْمَى تَضَعِيْنَثِيَابَكَ فََلاَيَرَاكَ
“Sesungguhnya ia adalah lelaki yang buta,kamu menanggalkan pakaianmu dia pun tidak melihatmu.”
    Sementara hadist yang terkenal, di mana disebutkan ketika Ibnu Ummi Maktum , berkunjung kepeda Rasulullah , beliau bersabda kepada kedua istrinya: ”kenakan hijab darinya.” Keduanya menjawab: “Sesungguhnya dia adalah orang buta” maka beliau   menjawab: “Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua adalah orang yang dapat melihat?” Maka hadist ini adalah hadist yang menyimpang, tidak shahih, karena ia bertentangan dengan hadist shahih yang diriwayatkan berkaitan dengan bab ini, dan sebagian adalah hadist yang disebutkan diatas.
    Sebagian dari hadist tersebuat adalah sabda Rasulullah :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِسْتِئَذَانُ النَّظَرِ
“sesungguhnyalah permintaan izin karena untuk memandang” Muttafaqun‘alaih

5. BOLEH MEMBUKA CADAR DAN SARUNG TANGAN KETIKA SHALAT
    Hukum asal dalam shalat harus membuka wajah, karena wajah termasuk dari tujuh anggota badan yang harus menempel ke bumi ketika sujud. Nabi   bersabda:

إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَة ُ أَطْرَافٍ وَ جْهُهً وَ كَفَّاهُ و َرُكْبَتَاهُ وَ قَدَمَاهُ
”Bila seseorang hamba itu sujud maka berada di atas tujuh anggota badan: mukanya, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kakinya” (HR. Muslim)
Dan yang dimaksud muka dalam hadist ini adalah dahi dan hidung,

أُمِرْتُ أَنْ أَسَجُدَ عَلَي سَبْعٍ وَ لآَ أَكْفِتَ الشَّعِرَ وَ لاَ الثِّيَابَ الجَبْهَةِ وَالأَنْفِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَ القَدَميْنِ
“Aku telah diperintahkan ntuk bersujud di atas tujuh (anggota badan), tidak memegang rambut dan baju, yaitu: dahi dan hidung, dua tangan, dua lutut dan dua kaki.” (HR.Muslim)

        Alasan lain menutup wajah ketika sholat menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi, mereka selalu menutup wajahnya saat berada ditempat ibadah sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Abu Dawud.
        Tapi lain kondisinya bila ketika shalat ditakutkan ada laki-laki yang bukan mahram akan melihatnya, maka diperbolehkan menutup wajahnya. Dan ketika hendak sujud segera membuka wajahnhya untuk ditempelkan ketemapat sujud.
        Syaikh Usaimin berkata dalam masalah ini, “Seorang wanita yang pergi keluar rumah, bila ketika shalat ditakutkan akan ada laki-laki melihatnya maka ia wajib menutup wajahnya agar tidak bisa dilihat mereka. Lalu bila ia hendak sujud ia harus membuka penutup wajahnya dan menutup kembali setelah itu. Anas  berkata, “suatu ketika kami shalat bersama Nabi  dalam kondisi kepanasan, Bila salah satu dari kami tidak kuat menempelkan dahinya di tanah maka membumka bajunya dan sujud di atasnya. ‘Dengan hadist inilah, siapapun tidak dibenarkan sujud diatas suatu benda yang menghalanginya dari tanah kecuali karena sebuah tuntunan kebutuhan.”
         
6. BOLEH MEMBUKA WAJAH KETIKA DI KHITBAH
    Rasulullah  bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدَ كُمْ امْرَأَةً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إنَّمَا يّنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ إِنْ كَانَتْ لاَتَعْلَمُ
“Apabaila salah satu di antara kalian mengkhitbah seorang wanita, maka tidak dosa baginya untuk melihat wanita tersebut jika ia hendak melihatnya karena khitbah, meskipun wanita itu tidak mengetahuinya”

Dari segi pengambilan hadist diatas,