Kamis, 10 Desember 2009

Hukum Adzan Bagi Wanita

Adzan merupakan salah satu dari syiar Islam yang disyari’atkan dalam agama ini. Adzan adalah suatu tanda bahwa waktu shalat telah tiba. 
 وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمُُ لاَّ يَعْقِلُون.﴿ الما ئدة:۵۸ ﴾
     Kaifiyah adzan disyariatkan melalui mimpi dan bahkan bertepatan dengan
Hukum Adzan. 
-    Menurut mujahid bahwa adzan dan iqomah wajib hukumnya dilaksanakan secara berurutan dan tidak dapat di gantikan salah satu keduanya dengan  yang lain, maka jika di tinggalkannya keduanya atau salah satunya akan menjadikan sholatnya rusak. Menurut Auza’I diperbolehkan mengulanginya selama masih ada sisa waktu, jika tidak ada maka tidak usah diulangi.
-     Menurut ‘atho’ iqomah itu wajib walaupun tanpa adzan, boleh meninegalkanya jika ada udzur jika tidak ada udzur maka perlu di qodho’.
-    Menurut riwayat Abu tholib bahwa adzan wajib tanpa adzan.
-    Menurut syafi’I dan Abi hanifah keduanya hukumnya sunnah.
-    Para pengikut syafi’I berselisih pendapat tentang 3 perkara yakni: sunnah, fardhu kifayah, sunnah pada selain sholat jum’ah dan fardhu kifayah pada sholat jum’ah
-    Menurut ashabusyafi’I hukumnya sunnah muakaddah wajib kifayah.
Anjuran di kumandangkan adzan, karena adzan merupakan salah satu syair islam dan sunnah Rasulullah. Adapun keutamaan bagi muadzin adalah sangat besar di sisi Allah, yakni akan mendapat derajat yang tinggi kelak dihari kiamat, karena seorang muadzin dengan mengumandangkan adzan maka ia telah menunjukan orang lain kepada kebaikan, dan barang siapa menunjukan kepada kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala orang tersebut.
عَنْ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَْيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:"المُؤَذِنُوْنَ اَطْوَالُ اَعْنَاقًا يَوْمَ القِيَامَةِ (رواه مسلم)
Maksud dari athwalu a’naaqan menurut abu dawud yakni bahwa, manusia kelak pada hari kiamat dalam keadaan kehausan,jika dalam kehausan leher manusia akan mengerut, sedangkan seorang muadzin kelak tidak akan kehausan sehingga lehernya akan tetap tegap.
Adanya suara adzan akan membuat syaiton merasa takut dan lari menjauhi suara adzan karena lafadz adzan mengandung syi’ar-syi’ar agama dan aqidah tauhid. Begitu juga dalam sholat, akan berfaedah menghindarkan gangguan syaiton bila di laksanakan secara khusyu’.
Di sunnahkan menjawab lafadz adzan setelah muadzin usai mengucapkan setiap lafadz adzan, dan pengecualian pada hai’alataini (hayya ‘alasholah dan hayya ‘alalfalah) maka lafadz jawabannya adalah dengan lafadz hauqolah (laa haula wala quwata illa billah). Yang mempunyai makna tidak ada daya terhindar dari maksiat kepada  Allah kecuali dengan penjagaan Allah, dan tidak ada kekuatan untuk taat kepada Allah kecuali dengan pertolongan dari  Allah.
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ الْخُذْرِيِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ قَالَ: " إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَيَقُوْلُ كَمَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِنُ (متفق عليه) 
Disunnahkan bagi siapa yang sedang membaca Al-Qur’an hendaknya memotong bacaannya untuk menjaab adzan terlebih dahulu, karena adzan bisa berlalu sedangkan qiro’ah bisa dilanjutkan setelah adzan. Namun barang siapa yang mendengar adzan ketika sedang sholat maka tidak usah menjawabnya, agar tidak memalingkan kesibukan kepada selain bagian dari sholat. Sebagaimana riwayat                            إِنَّ فِي الصَّلاَةِ لَشَغُلًا
Menurut jumhur ulama anjuran menjawab adzan ditujukan kepada semua yang mendengar baik yang junub, haidh, nifas, atau sedang thowaf fardhu maupun nafil, setelah jima’, buang hajat, dan sholat selama jarak antara selesainya sholat dan adzan belum lama.
Disyariatkan adzan adalah untuk kaum adam, dan adzan bukan sama sekali bukan hak wanita. Tidak boleh bagi wanita untuk mengumandangkan adzan, karena hal ini tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi  dan juga tidak pernah terjadi pada zaman Khulafaur Rasyidin.
Suara wanita `ukanlah aurat, karena sesungguhnya para wanita pada zaman Nabi  selalu bertanya kepada  beliau tentang agama Islam, dan mereka juga melakukan hal yang sama pada zaman khulafa’ur rasyidin serta para pemimpin setelahnya. Hal ini telah diakui serta tidak ada seorang pun yang mengingkarinya, akan tetapi walaupun demikian tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengangkat suaranya tinggi-tinggi dalam berbicara, juga tidak boleh bagi mereka untuk berbicara dengan lemah gemulai, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مёَعْرُوفًا يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS.Al-Ahzab:32)
Karena jika seorang wanita berbicara lemah gemulai maka hal itu dapat memperdaya kaum pria hingga menimbulkan fitnah diantara mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut.
Oleh karena itu wahai muslimah, jika kita telah mengatahui bahwa suara seorang wanita dapat menimbulkan fitnah, maka wajib bagi kita untuk menjaganya. Berhati-hati dalam berbicara dalam artian tida terlalu mengeraskan volume atau membut-buat suara menjadi lebih indah kedengarannya. Itulah salah satu solusi yang perlu kita realisasikan. Wallahu A’lam Bisshowab…..


Referensi:
    Al Qur’anul Karim
    Shohih Bokhori
    Nuzhatul Muttaqin
    Fatawa Al-Jami’ah Lilmar’ah Muslimah
    Berbagai Sumber

0 komentar:

Posting Komentar