Kamis, 10 Desember 2009

Birrul Walidain Bagi Wanita

Selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari seorang wanita yang begitu jelita telah mengandung kita. Ke mana-mana kita selalu dibawanya. Di saat kita sudah menginginkan untuk hidup bebas di dunia luar dan melihat keindahannya, beliau telah menaruhkan nyawanya untuk kita. Setelah kita hidup bebas di dunia beliau merawat kita dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tak terbatas. Beliau merelakan seluruh waktunya untuk merawat kita. Beliaulah ibu kita.
Di lain pihak juga ada seorang ksatria yang tampan memeras keringatnya hanya untuk membelikan kita makanan, pakaian, berbagai mainan,, biaya pendidikan kita, serta kebutuhan kita yang lainnya. Beliau tak pernah mengeluhkan rasa capeknya, meskipun sebenarnya beliau sangatlah capek. Beliau selalu berusaha agar semua kebutuhan kita dapat terpenuhi. Beliaulah ayah kita.
 Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada kita semua baik laki-laki maupun perempuan  untuk berbakti kepada  kedua orang tua kita, untuk memperlakukan mereka berdua dengan sebaik-baik perlakuan sampai mereka berdua meninggalkan alam yang fana ini (dunia). Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah  dalam ayat-Nya:
وَقَضى رَبُّكَ أَلّا تَعبُدُوا إِلّا إِيّاهُ وَبِالوَلِدَينِ إِحساناً إِمّا يَبلُغَنَّ عِندَكَ الكِبَرَ أَحَدُهُما أَو كِلاهُما فَلا تَقُل لَهُما أُفٍّ وَلا تَنهَرهُما وَقُل لَهُما قَولاً كَريماً وَاِخفِض لَهُما جَناحَ الذُلِّ مِنَ الرَحمَةِ وَقُф رَبِّ اِرحَمهُما كَما رَبَّياني صَغيراً
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mepeka perkataan yang mulia.” (QS Al-Isra’: 23)
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang
tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan
bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah,
kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang
diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan
keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar
batasan-batasan Allah ).
Bahkan jiga kita dihadapkan dengandua pilihan antara berbakti kepada kedu orang tua dengan melakukan amalan sunnah ataupun berjihad di mana jihad tersebut hukumnya masih fardlu kifayah, maka kita diharuskan untuk memilih berbakti kepada kedua orang tua kita. Hal ini dikarenakan hokum daripada birul walidain itu adalah fardlu ‘ain. Namun jika kita dihadapkan dengan dua pilihan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan suatu perintah dari Allah  yang hukumnya itu fardlu ‘ain, maka kita harus memilih untuk meljalankan perintah dari Allah  tersebut daripada berbakti kepada kedua orang tua.

Berbaktinya Seorang Anak Wanita Di Saat Masih Sendirian (Belum Nikah)
Seorang anak wanita yang belum menikah itu sama halnya seorang anak laki-laki dalam hal berbakti kepada orang tua. Yaitu dengan mentaati semua yang telah mereka perintahkan selama hal tersebut tidak menyimpang dari syari’at islam, mendahulukan meemnuhi panggilannya daripada melakukan amalan sunnah, tidak mengucapkan perkataan “Ah” atau perkataan kasar lainlya, serta mendoakan keduanya, baik di saat hidupnya maupun di saat matinya.
Dari kedua orang tua kita yang paling kita hormati ialah seorang ibu. Abu Hurairah berkata: “seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘wahai rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku hormati dengan baik?’ beliau menjawab, ‘Ibumu’, ia bertanya, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’, ia bertanya, ‘kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’, ia bertanya, ‘kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ayahmu.’” (H.R. Al-Bukhori)
Islam sangat mengutamakan berbuat baik kepada ibu disbanding ayah, karena dua sebab:
    Sesungguhnya perhatian seorang ibu kepada anak dengan cara mengandung, melahirkan, dan menyusuinya, serta bertanggung jawab atas segala urusan dan pendidikannya, lebih banyak daripada ayah. Sebagaimana firman Allah :
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqman: 14)
    Sesungguhnya seorang ibu lebih banyak perhatian dan pemeliharaannya daripada ayah.

Berbaktinya Seorang Anak Wanita Yang Telah Menikah
Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah, maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah  berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi  bersabda dalam haditsnya:
 الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهюا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu.”
 Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah  bersabda:

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ Юَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi , beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
(HR. At-Tirmidzi.Hadits ini hasan)
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah  dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu' kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah  bersabda:
 أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بюأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa maka haram baginya mencium wanginya surga.”
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah , misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah  dan Rasul-Nya  perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya  untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
 Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah  perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia melgerjakan perbuatan yang Allah  larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi  bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.” Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah , tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah  dan Rasul-Nya , sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah  dan Rasul-Nya.” Wallahu a’lam bish-shawab.

Reference:
    Al-Qur’an Al-Karim
    Fatwa-Fatwa Tentang Wanita jilid 3, Amin bin Yahya Al-Wazan
    Fiqh Wanita, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah
    Majmu’atul Fatawa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
    Kitab Akhlaq dan Ar-Riqooq
    Pendidikan Anak Dalam Islam

0 komentar:

Posting Komentar