Kamis, 10 Desember 2009

DARAH

A.    DARAH MANUSIA

     Terjadi  perbedaan pendapat dalam menyikapi darah manusia,tetapi yang terkenal dalam  madzhab – madzhab fiqhiyah bahwa darah itu najis. Dan mereka tidak mempunyai hujjah kecuali nash Al-qur’an yang mengharamkan darah. Seperti dalam firman Allah  surat Al-an’am : 145 
قُل لآأَجِدُ فِي مَآأُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَعَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : “ Katakanlah tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku , sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya. Kecuali daging hewan yang mati ( bangkai ), darah yang mengalir , daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi ( batas darurat ) maka sungguh Tuhanmu maha pengampun, maha penyayang”.
Maka mereka menetapkan pengharaman najis –seperti yang mereka sikapi tentang khamr -.Tapi para ulama tidak hanya menukil  mengambil dari satu ijma saja tentang kenajisannya . Berikut penjelasannya :
1.    Sesungguhnya, asal dari sesuatu itu suci, kecuali sampai adanya dalil yang menjadikannya najis. Dan kami tidak mengetahui bahwa Nabi  memerintahkan untuk mencuci darah. Padahal ketika itu banyak orang yang terkena luka dan sejenisnya. Seandainya darah itu najis pasti Nabi  akan menerangkannya karena itu sangat penting.
2.    Bahwasanya kaum muslimin mereka tetap shalat dengan keadaan terluka, dan luka itu mengeluarkan darah yang banyak yang tidak bisa dihilangkan. Dan tidak ada perintah Nabi  untuk mencucinya.
      Hasan berkata : “ Kaum muslim tetap melakukan shalat dalam keadaan terluka”. Dan ada hadits tentang sahabat anshor yang sedang mengerjakan shalat malam, maka ada seorang musyrik yang memanahnya. Dia mengambil dan mencabut panah tersebut sampai dia dipanah tiga kali. Kemudian dia ruku’ dan sujud, sedang dia dalam keadaan berlumuran darah kemudian dia menyelesaikan shalatnya.
      Albani berkata : “ Nabi  tidak berkomentar tentang itu. Kalau seandainya darah yang banyak itu pembatal, pasti dia akan menjelaskannya. Karena mengakhirkan penjelasan pada waktu yang diperlukan tidak boleh. Seperti kita ketahui dalam ilmu ushul fiqih. Nabi  tidak akan menyembunyikan hal tersebut. Karena Allah  maha mengetahui segala sesuatu yang di langit dan di bumi. Kalau seandainya, darah itu pembatal atau najis pasti Allah  akan mewahyukan pada nabi tentang hal itu.
-    Dan dalam hadits terbunuhnya Umar bin khattab  ’’Umar shalat dan lukanya mengalirkan darah’’.
-    Hadits A’isyah r.a dalam kisah kematian Sa’ad bin Mu’adz A’isyah berkata: ’’Ketika Sa’ad bin Mu’adz berada pada perang khandaq seseorang memanahnya pada kelopak matanya,maka Rosulullah  membuatkan sebuah kemah di dalam masjid agar dapat mengunjunginya dengan dekat.Maka pada suatu malam lukanya memancarkan darah dan mengalirlah darah dari luka tersebut sampai orang khoba’ masuk ke sampingnya maka mereka berkata,” Wahai ahlul khoba’ apakah yang mendatangi sebelum kalian ini? ’’maka mereka melihatnya .ternyata itul adalah Sa’ad yang telah terluka dan lukanya mengalirkan darah kemudian dia wafat. Dan tidak ada perintah dari nabi  untuk menyiramkan air di atasnya,padahal itu di dalam masjid, sebagaimana dia memerintahkan untuk menyiram kencingnya seorang arab badui”.

B.    DARAH HEWAN YANG DIMAKAN

       Maka pendapat didalamnya seperti pendapat tentang darah manusia, karna tidak    adanya dalil yang menunjukkan bahwa itu najis. Dan pendapat tentang kesucian darah ini dikuatkan dengan hal berikut:
-    Hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata : ” Sesungguhnya Nabi  shalat di ka’bah sedangkan Abu Jahl duduk disana, kemudian sebagian dari mereka berkata dengan sebagian yang lain,” Wahai kaumku siapa yang pergi ke tempat penyembelihan hewan keluarga si fulan hendaknya dia mengambil darahnya dan kotorannya”. Kemudian ada yang datang membawa kotoran dan darah tersebut, maka dia menunggu sampai Nabi  sujud, kemudian dia meletakkannya diatas bahu nabi, kemudian bangkitlah orang yang paling celaka diantara mereka ketiia Rosulullah  sujud mereka meletakkan lagi di kedua bahunya dan Nabi  tetap sujud, kemudian mareka tertawa”.
    Kalau seandainya darah hewan sembelihan itu najis pasti nabi akan membuang pakaiannya dan membatalkan shalatnya. Dan telah dishohihkan, bahwasannya Ibnu Mas’ud shalat dan di atas perutnya kotoran dan darah hewan sembelihan qurban dan dia tidak berwudhu. Namun  atsaar ini tidak mutlak dijadikan dalil atas kesucian darah hewan.
    Penulis berkata : Seandainya ijma telah tetap atas najisnya darah, maka kita tidak menoleh ke dalil yang mutaakhir dan jika belum ditetapkan, maka aslinya adalah suci. Dan yang jelas bagi kita setelah penelitian terhadap pendapat tentang sucinya darah, bahwasanya ijma dalam masalah ini tetap. Lebih dari satu para ahli ilmu telah menukilnya dan tidak menetapkan apa yang menolaknya. Adapun nukilan itu yang paling tinggi adalah apa yang dinukilkan oleh imam Ahmad kemudian dinukilkan Ibnu hajm untuk menyelisihi orang-orang yang menganggap madzhabnya berpendapat darah itu suai. Adapun perinciannya adalah :
-    Ibnu Qoyyim berkata dalam IGHOFATUL LAHFAN, Ahmad ditanya darah dan luka yang bernanah samakah menurut pendapatmu? Dia berkata tidak. Nanah itu lebih mudah dari pada darah. Dan telah dinukil oleh Ibnu hajm dalam MARAATIBUL IJMA’ , Ulama telah bersepakat atas hukum najisnya darah. Dan Ibnu Abdul Baar berkata dalam ATTAMHID  semua darah itu dihukumi seperti darah haidh, kecuali darah yang sedikit itu diperbolehkan atau dimaafkan. Karena Allah telah mensyaratkan dalam menghukumi najisnya darah. Hendaknya darah itu mengalir, maka dalam hal itu darah adalah kotoran, dan kotoran adalah najis. Dan inilah ijma kaum muslimin bahwasanya darah yang mengalir itu adalah darah kotoran dan najis. Para ulama bersepakat bahwasanya darah haram dan najis, tidak boleh dimakan dan tidak ada manfaatnya. Dan Allah telah menerangkan darah secara mutlak didalam Al-Qur’an surat Al-an’am : 145 , sebagai muqayyadnya darah yang mengalir.
An-nawawi berkata dalam majmu’, tentang dalil najisnya darah dengan jelas, aku tidak mengetahui adanya perbedaan diantara kaum muslimin didalamnya. Kecuali apa yang diceritakan oleh shohibul hawaa, dari sebagian orang bahwasanya dia berkata bahwa darah itu suci.
-    Sesungguhnya Ibnu Rusydi ketika menyebutkan perbedaan ulama dalam hal darah ikan. Dia menyebutkan bahwasannya sebab ikhtilaf mereka itu adalah perbedaan mereka dalam hal bangkainya. Barang siapa yang menjadikan bangkainya termasuk dalam keumuman keharaman,maka dia menjadikan darahnya seperti itu. Tapi barang siapa yang tidak memasukkan bangkainya dalam keharaman maka darahnya juga tidak masuk sebagai qiyas atas bangkai tersebut. Dan kami berpendapat tentang sucinya bangkai manusia maka begitu juga dengan darahnya”.
Penulis (Abu malik kamal bin said salim) berkata : menurutku yang paling rojih, bahwasanya darah itu najis karena ketetapan ijma’. Sampai diambil dari imam Ahmad yang berpendapat bahwa darah itu suci.  
       Adapun pendapat madzhab-madzhab yang lain, tentang masalah darah adalah sebagai berikut :
1.    Madzhab syafi’i  mereka berpendapat akan najisnya semua darah kecuali empat macam, yaitu: susu hewan yang dimakan jika keluar seperti darah, dan mani jika keluar seperti warna darah juga, dan keluarnyaitu dari tempat yang biasa, dan telur jika warnanya menyerupai darah dengan syarat telur tersebut masih dapat menetas. Dan darah hewan jika telah berubah menjadi segumpal darah atau segumpal daging dengan syarat hewan tersebuttermasuk hawan yang suci.
2.    Madzhab maliki mereka berpendapat bahwa darah yang mengalir najiq tanpa terkecuali, walaupun darah ikan, dan mengalir disini maksudnya mengalir dari hewan tersebut. Adapun darah yang tidak mengalir seperti sisa darah yang terdapat pada urat hewan yang disembelih maka itu suci.
3.    Madzhab hanafi mereka berpendapat  akan sucinya darah hewan dan manusia dan sucinya darah yang menyerupai segumpal daging. Adapun jika menyerupai segumpal darah maka itu najis
        Menurut ijma’ ulama, seluruh darah yang mengalir dari hewan yang disembelih adalah najis, tetapi dimaafkan jika tepkena sedikit saja. Sedangkan darah yang terdapat pada urat ( dari daging hewan yang disembelih ) juga diberikan keringanan dan dimaafkan. ’Aisyah berkata : ” Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang menempel pada kuali”.
        Juga diberikan keringanan pada nanah, darah bisul dan darah kutu. Namun diutamakan agar sedapat mungkin orang menghindarinya karna pada dasarnya, islam merupakan agama yang menjunjung tinggi akan kebersihan.




Reference :

    ALFIQHU ’ALAL MADZAHIBIL ARBA’AH : ABDURRAHMAN AL-JAZIRI
    FIQIH WANITA : SYEKH KAMIL MUHAMMAD ‘UWAIDAH
    SHOHIH FIQH SUNNAH : ABU MALIK KAMAL BIN SAID SALIM
    MAJMU’ATUL FATAWA : TAQIYYUDDIN AHMAD IBNU TAIMIYAH










           


   



                                             

0 komentar:

Posting Komentar