Selasa, 15 Februari 2011

Mush’ab bin Umair Akhirat Adalah Segalanya


Betapapun luka hati Rasulullah  karena pamannya, Hamzah bin ‘Abdul Muthalib  gugur dengan tubuh dirusak oleh orang-orang musyrik Quraisy, beliau menyempatkan diri untuk menyampaikan salam perpisahan kepada para syuhada’. Saat sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab bin Umair , air mata beliau tak terbendung lagi. Beliau menatap tubuh Mush’ab lekat-lekat. Lantas beliau membaca ayat

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
“Diantara orang-orang yang beriman ada orang-orang yang telah menepati janjimya kepada Allah.” (Qs Al-Ahzab:23)
Kemudian beliau memandangi kain burdah yang digunakan untuk menutupi jasad Mush’ab. Burdah itu, jika ditutupkan ke bagian kepalanya, terlihatlah kedua kakinya. Dan jika burdah itu ditutupkan ke bagian kakinya, terlihatlah kepalanya. Maka Rasulullah  memerintahkan para sahabat menutupkan ke bagian kepala. Beliau memeritahkan mereka untuk menutupi bagian kaki Mush’ab dengan rumput idzkhir.
Sejurus kemudian beliau berkata, “Saat di Mekkah dulu, aku tak pernah melihat orang yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripada dirimu. Kini, rambutmu kusut masai, hanya ditutupi sehelai kain burdah.”
Kemudian Rasulullah  berseru untuk seluruh syuhada’ perang Uhud, “Sesungguhnya Rasulullah  menjadi saksi bahwa kalian adalah para syuhada’ di sisi Allah, pada hari kiamat nanti.”
Ya, Mush’ab bin Umair telah meraih cita-cita terbesarnya. Ia telah sampai di akhir perjalanannya. Ia telah tiba di ujung pilihannya. Kesuksesan Mush’ab bin Umair itu bermula saat Mush’ab muda, buah bibir gadis-gadis Mekkah, mendengar kabar pengakuan Muhammad, putra ‘Abdullah sebagai seorang utusan Allah. Mush’ab yang cerdas penasaran. Sampai akhirnya didengarnya bahwa Muhammad dan para pengikutnya sering mengadakan pertemuan di rumah Arqam Bin Abul Arqam. Tanpa menunggu lebih lama lagi Mush’ab menuju rumah Arqam di bukit Shafa. Sesampainya di sana, Mush’ab mendengar ayat-ayat Al-Qur’an sedang di bacakan oleh Rasulullah. Hatinya terpesona. Cahaya iman menyelubungi hatinya. Dan ia tidak mendustainya, ia menuruti naluri fitrahnya, ia mengikuti kata hatinya. Disaksikannya bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Ditinggalkannya berhala-berhala yang di sembah oleh orang-orang Quraisy.
Mush’ab telah menentukan pilihannya, namun pilihan Mush’ab bukannya tak beresiko. Meskipun ia telah berusaha mati-matian untuk menyembunyikan keislamannya, namun akhirnya ketahuan juga. Seseorang melaporkan keislamannya kepada keluarganya. Dan Mush’ab pun disidang oleh ibu dan keluarganya. Keputusannya: Jika Mush’ab tidak meninggalkan ajaran baru itu ia akan di kucilkan dan semua fasilitas keluarga yang selama ini dinikmatinya dicabut.
Mush’ab lebih memilih untuk tidak mengingkari nuraninya. Apa pun konsekuensinya. Selama beberapa lama Mush’ab dikurung di sebuah tempat terpencil. Makanan dan minuman tetap dikirim oleh orang tuanya, namun sedikit sekali dan tidak bergizi. Sampai akhirnya Mush’ab mendengar beberapa sahabat Nabi  hendak meninggalkan Mekkah dengan membawa iman mereka. Mush’ab pun mengatur sebuah muslihat untuk orang-orang yang menjaganya. Mush’ab berhasil. Dan bersama para sahabat ia berhijrah, menyeberangi lautan ke negeri Habasyah.
Setelah sekian lama tinggal di negeri asing Mush’ab dilanda rindu. Kerinduannya kepada Rasulullah  menbawanya pulang ke Mekkah. Di Mekkah Mush’ab mendapati keluarganya dan terutama ibunya belum berubah. Namun baginya itu tidak masalah. Asalkan dia bertemu dengan manusia yang paling dikasihinya, itu sudah cukup. Ia telah menjatuhkan pilihan dan tidak akan mencabutnya.
Saat Nabi  memerintahkannya untuk kembali berhijrah ke Habasyah bersama para sahabat yang lain, Mush’ab pun memenuhinya dengan suka cita. Sebelum berangkat Mush’ab sempat bertemu dengan ibunya. Bagaimanapun ibunya tetap ibunya. Mush’ab tak dapat membendung cucuran air matanya. Namun permintaan ibunya untuk murtad tak mungkin dipenuhinya. Ibunya marah dan telah berputus asa. Hal itu tergambar dari ucapannya, “ Mush’ab! Pergilah sesukamu! Aku bukan ibumu lagi!”
Mush’ab meninggalkan kota mekkah bersama rombongan kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah untuk kali kedua dengan langkah mantap, semantap keputusannya untuk meninggalkan kemewahan dan kesenangan dunia demi menggapai kehidupan hakiki di akhirat nanti.
Pernah Mush’ab berjalan melewati Rasulullah  yang sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang sahabat. Mereka semua menundukkan pandangannya saat menyaksikan Mush’ab hanya memakai jubah usang yang bertambal-tambal. Masih segar dalam ingatan mereka bagaimana kehidupan Mush’ab di Mekkah dahulu. Seorang pemuda yang tampil fresh, wangi, dan selalu memakai pakaian terbaik yang ada.
Sementara Rasulullah  menatapnya dengan penuh cinta dan kesyukuran. Bibir beliau menyunggingkan seulas senyuman seraya bersabda, “Aku tahu siapa Mush’ab. Dulu tidak ada pemuda Mekkah yang lebih beruntung dari dia. Dia mendapatkan limpahan kesenangan dari ayah ibunya. Namun, Mush’ab lebih memilih untuk meninggalkan semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

0 komentar:

Posting Komentar