Sabtu, 30 Januari 2010

Saat Ku Pening

Ketika pening melanda.. deadline tugas membayang di depan mata.. kantuk memberatkan mata.. badan sudah merebah di atas pembaringan seadanya.. tiba- tiba ku dikejutkan dengan sapaan di kolom chat.. “thuk..”
Sebuah nama dari teman baruku muncul menyapa. Basa- basi sebentar mencairkan suasana. Ku bagi permasalahanku padanya. Meringankan beban otak ini agar tidak meletup karena tegang.

Sampai akhirnya mucul suatu pertanyaan yang mungkin setiap kita bingung menjawabnya. “ Kamu thuw pinternya apa ?? “

Berabad- abad lamanya kekuatan hapalan menjadi patokan nilai cerdasnya seseorang. Hingga pada tahun 1987 Howard Gardner mengungkap kembali adanya bentuk- bentuk kecerdasan yang lain. Ups.. mungkin ada yang bertanya kenapa ku pakai kata “mengungkap kembali” ??. percaya tidak percaya.. multiple intelligence telah ditemukan berabad- abad yang lampau oleh Rasul kita tercinta.

Pernah tahu siapakah bilal bin Rabbah ??. seorang budak berkulit hitam. Yang pastinya setiap orang bisa menduga bahwa dia memiliki tingkat inteligensi yang pas- pasan. Dan yang menjadi suatu kekaguman bahwa Rasulullah sendiri tidak memaksakan kehendak kepada Bilal bin Rabbah untuk menjadi seorang ulama’ dengan berjuta- juta dalil di kepalanya. Tapi Rasulullah yang dengan jeli memandang sisi intelegensi Bilal menempatkannya pada posisi seorang muadzin.

Usaid bin hudair.. sebuah nama sahabat yang sungguh sangat asing di telinga kita. Tapi beliau mengalami kejadian luar biasa. Beliau membuat takjub para malaikat dengan indahnya bacaan beliau. Hingga Rasulullah bersabda “Jikalau engkau lanjutkan bacaanmu, manusia akan menyaksikan malaikat dengan mata telanjang”. Rasulullah tidak jarang memuji beberapa sahabatnya agar memperbagus bacaan Al- Qur’annya, termasuk di dalamnya sahabat Usaid bin Hudair ini sendiri. Tanpa memaksa mereka melakukan bentuk- bentuk kecerdasan lainnya.

Andai teman- teman ada kesempatan dan menyempatkan untuk menelaah sirah- sirah para sahabat. Kita akan mendapati betapa Rasulullah benar- benar tahu betul kecerdasan- kecerdasan model apa yang dimiliki tiap sahabatnya. Ada sahabat yang memiliki kecerdasan dibidang bahasa maka Rasul mengutusnya untuk mendalami bahasa- bahasa asing. Ada sahabat yang cenderung kepada kecerdasan bodi- kinestetik Rasulullah memberinya tugas pada posisi yang tepat.

Keberhasilan dan kejayaan Islam tak lepas dari keberhasilan Rasulullah dalam mengidentifikasi kecerdasan para sahabatnya. Hingga pada akhirnya Rasulullah bisa menempatkan orang yanga tepat pada tempat yang tepat. Subhanallah..

Akhirnya.. ku berterimakasih pada seorang teman yang menyadarkanku pada hal ini. Kekagumanku pada Rasulullah semakin bertambah melalui sumbangsihnya (meskipun dia bilang ga sadar..^_^). Cobalah mencari letak kecerdasanmu. Agar bisa mengoptimalkan kemampuanmu.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Pada 5 November 2009, saya mendapat undangan untuk berbicara dalam sebuah seminar di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seminar bertema ”Islam dan Tantangan Pemikiran Global” itu diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pesantren Modern Gontor cabang Lombok. Seminar dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Zainul Majdi. Turut memberikan sambutan adalah pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan Tuan Guru Sofwan Hakim, ketua Forum Kerjasama Pesantren se-NTB. Seminar dihadiri sekitar 300 pimpinan dan guru-guru pesantren se- NTB. Tim pembicara dari INSISTS dipimpin oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.

Tampaknya, bagi para ulama dan tokoh Islam di NTB, isu liberalisasi Islam sudah cukup akrab dengan mereka. Mereka mengakui, sejumlah masalah yang dibahas dalam seminar sudah terjadi juga di daerah mereka, meskipun dalam skala yang belum masif seperti di sejumlah kota di Pulau Jawa. Salah satu masalah yang sudah mulai dilontarkan kaum liberal di NTB adalah soal ”Desakralisasi al-Quran.” Ada seorang tokoh yang mengaku sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa IAIN Mataram, yang bertanya kepadanya: ”Apakah al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?”

Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa, apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”

Dalam seminar di NTB, isu ”desakralisasi al-Quran” memang disinggung juga oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Gubernur NTB yang juga kandidat doktor ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, bahkan menguraikan cukup panjang sejarah serangan kaum orientalis terhadap Islam, termasuk terhadap al-Quran. Ia menunjukkan sejumlah contoh kesungguhan dan kesabaran para orientalis dalam menyerang Islam. ”Sehingga dalam pertarungan ini, siapa yang lebih sabar yang akan menang,” ujarnya seraya mengajak para peserta seminar untuk meningkatkan kesabaran dalam berjuang.

Proyek ”desakralisasi al-Quran” memang termasuk salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci. Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan al-Quran. Dia mencoba meyakinkan, bahwa al-Quran adalah kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapatkan imbalan tertentu di dunia.

Pikiran semacam ini tampaknya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam saat ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan, "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.”

Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!” Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

Mengapa kaum liberal giat dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi al-Quran”, bahwa al-Quran bukanlah kitab suci? Ternyata, jika kita cermati, tujuan mereka adalah ingin memberikan legitimasi terhadap masuknya berbagai metode penafsiran al-Quran, di luar ilmu Tafsir al-Quran. Dengan meletakkan posisi al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman al-Quran yang baru, seperti hermeneutika.

Di NTB itulah, saya lebih berkesempatan membaca sebuah buku berjudul Arah Baru Studi Ulum al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Sebut saja inisialnya ”AW”. Tesis master dosen ini juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, yang juga menolak kesucian al-Quran. Buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, semakin menegaskan, adanya kecenderungan dan gerakan penghancuran ulumul-Quran para ulama Islam, digantikan dengan teori-teori ilmu sosial para ilmuwan Barat. AW sangat getol dalam mempromosikan penggunaan hermeneutika untuk – katanya – memahami pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani. Seperti biasa, para pengguna hermeneutika biasanya melakukan proses desekralisasi teks al-Quran. Itu pula yang dilakukan dosen STAIN ini. Simaklah pandangan penulis tentang al-Quran berikut ini:

”Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an, dan Mushaf Usmani. Ketiganya adalah tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi al-Quran dan Mushaf Usmani. Hal itu terjadi, bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan karena keterbatasan Bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.” (hal.vii).



Saya sangat prihatin dan sekaligus kasihan membaca berbagai uraian dalam buku ini. Sebab, buku ini ditulis oleh seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya. Selain disebarkan melalui tulisan, dosen ini tentu juga mengajarkan pemikirannya kepada para mahasiswanya. Banyak sekali kekacauan dan kerancuan pemikirannya, yang tentu saja memerlukan terapi yang sangat serius. Marilah kita lihat contoh-contoh kekacauan berpikir dosen yang dinyatakan lulus doktornya di UIN Yogya dengan predikat cum laude ini. Dia menulis sebagai berikut:

”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai agen tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab memilih lafaz dan makna tertentu yang mampu memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Implikasinya, teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori interpretasi lain yang dinilai mampu menemani tafsir, sehingga yang terungkap bukan hanya pesan pemilik bahasa,tetapi juga pesan Tuhan. Hermeneutika tampaknya bisa menjadi mitra tafsir guna mengungkap pesan Tuhan di balik Bahasa Arab sebagai fenomena budaya.” (hal.viii).



Sekilas saja, kita bisa menilai, bahwa kata-kata si dosen STAIN itu sebenarnya asbun (asal bunyi). Tuduhan bahwa Ilmu Tafsir selama ini tidak mampu menangkap pesan Allah dalam al-Quran adalah suatu bentuk pernyataan asal-asalan. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan si dosen ini ”sakit jiwa”, sebab bisa meraih gelar doktor dari UIN Yogya dengan predikat cum laude dan bisa menulis banyak buku. Tetapi, yang jelas, selama 1400 tahun lebih, umat Islam di seluruh dunia telah memahami al-Quran dengan menggunakan Ilmu Tafsir dan tidak menggunakan hermeneutika. Lalu, tiba-tiba di ”zaman edan” ini muncul ”pemikir luar biasa hebat” dari UIN Yogya yang dengan gagah berani menyimpulkan:

”teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun.”



Karena berlagak menjadi mujtahid besar itulah maka pengguna hermeneutika -- seperti penulis buku ini -- lalu bersikap sok hebat dan merendahkan martabat, keilmuan, dan keikhlasan Khalifah Usman bin Affan serta para ulama Islam terkemuka. Tapi, ironisnya, pada saat yang sama, kaum liberal juga sangat hormat dan bertaklid buta begitu saja kepada Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Farid Essac, Paul Ricour, Fazlur Rahman, Hegel, dan sebagainya.

Simaklah sejumlah ungkapan AW tentang Mushaf Usmani berikut ini: ”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)... ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)...”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).

Begitulah pandangan doktor UIN Yogya yang sangat merendahkan martabat Sayyidina Utsman bin Affan dan menistakan al-Quran. Sebenarnya, jika AW mau mengungkapkan berbagai penjelasan dalam kitab Ulumul Quran, maka dengan mudah ditemukan penjelasan seputar tindakan Khalifah Utsman r.a. yang sangat mulia dan luar biasa besar jasanya dalam kodifikasi Mushaf al-Quran. Tapi, dia lebih percaya kepada pendapat-pendapat orientalis yang memberikan berbagai tuduhan dan sangkaan terhadap Khalifah Utsman r.a., menantu Rasulullah saw, dan termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw.

Tindakan Sayyidina Utsman itu pun sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.

Kajian terakhir yang menyudutkan Mushaf Usmani, misalnya datang dari seorang orientalis Kristen Jerman (berasal dari Lebanon) yang menggunakan nama samaran Christoph Luxenberg. Sebagaimana para pendahulunya, Luxenberg juga menggugat al-Quran sebagai “wahyu” yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Ia mencoba menggugurkan keyakinan kaum Muslim bahwa al-Quran adalah “tanzil”, “suci”, bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran (QS 15:9). Menurut Luxenberg -- dengan melakukan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam al-Quran Arab yang diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac -- Al Qur'an yang ada saat ini (Mushaf Utsmani) adalah salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks asli Al Qur'an, simpulnya, lebih mirip bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah asli itu telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan. Dengan kata lain, al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim saat ini, bukanlah wahyu Allah SWT, melainkan akal-akalan Utsman bin Affan r.a.

Lunxenberg – seperti banyak orientalis lainnya – mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melakukan kodifikasi al-Quran. Ia menduga, teks al-Quran yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang sekarang ini. Tuduhan semacam ini sama sekali tidak beralasan, sebab proses kodifikasi al-Quran di zaman Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan al-Quran selalu diingat oleh ratusan, ribuan – bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh kaum Muslim.

Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri. Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu seperti yang dilakukan doktor UIN Yogya itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit pun, AW menulis: ”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).

Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad saw, dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih. Adab seperti inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.

Apalagi, faktanya, doktor UIN Yogya ini juga sama sekali tidak bersikap kritis ketika mengutip pendapat-pendapat para orientalis dan pemikir liberal. Ia menolak pemahaman bahwa lafaz dan makna al-Quran (Mushaf Utsmani) berasal dari Allah, sehingga bersifat sakral (suci), dan membacanya dalam bentuk tartil pun dinilai sebagai membaca wahyu Allah dan si pembaca mendapatkan pahala. Menurut sang doktor UIN Yogya tersebut, yang sakral dari Mushaf Utsmani hanyalah maknanya, sementara lafaznya tidak sakral. ”Namun demikian, lafadznya, sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan membaca di sini adalah dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu terdapat dalam bahasa yang profan, maka diperlukan alat apa saja yang secara metodologis absah digunakan dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.” (hal. 184).

Membaca pemikiran doktor cum laude dari UIN Yogya ini, tentu wajar jika selama ini kita mempertanyakan, mengapa penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran terus digalakkan di Perguruan Tinggi Islam. Tampak jelas, bagaimana pemikiran sang doktor ini dalam menistakan al-Quran, para sahabat Nabi Muhammad saw, dan para ulama Islam yang sangat kredibel. Kita bisa melihat bagaimana tendensiusnya kajian yang mempromosikan hermeneutika sebagai metode alternatif dalam penafsiran al-Quran. Kajian semacam ini jauh dari sikap ilmiah yang bermutu. Maka, adalah aneh, ketika seorang guru besar di UIN Yogya, Prof. Dr. Hamim Ilyas, membuat kriteria bahwa salah satu ciri kaum fundamentalis adalah menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran.

Mengapa muncul kegilaan pada hermeneutika dan penistaan Ilmu Tafsir pada sebagian akademisi di Perguruan Tinggi Islam? Kita menemukan jawabannya pada artikel Dr. Syamsuddin Arif di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd”:

“Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat… Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.”



Dan memang faktanya, para pengguna hermeneutika dan pengecam Tafsir al-Quran, hingga kini tidak pernah mampu membuat satu Tafsir al-Quran pun. Sebab, tampaknya, ”maqam” mereka baru sampai pada tahap merusak dan hanya isapan jempol belaka, jika diangggap para hermeneut ini mampu menciptakan metode Tafsir al-Quran baru yang sanggup menandingi kehebatan Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya. Bahkan, tampak jelas, buku karya doktor UIN Yogya ini pun tidak menunjukkan contoh, bagaimana metode dan model Studi al-Quran yang baru dan hebat.
Kita yakin, al-Quran ini Kalamullah. Al-Quran adalah milik Allah. Dan pasti, Allah yang menjaganya dari berbagai upaya untuk merusaknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang tahu diri! Tidak patut burung emprit berlagak seperti burung elang. Wallahu a’lam.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Metode Penafsiran

1. Tafsir Bil Ma"tsur (Riwayah)

Metode penafsirannya terfokus pada Shohihul Manqul (riwayat yang shohih)? dengan menggunakan penafsiran al-Qur?an dengan al-Qur?an, penafsiran al-Qur?an dengan sunnah, penafsiran al-Qur?an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur?an dengan perkataan para tabi?in. Yang mana? sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :

- Tafsir At-Tobary ((جامع البيان في تأويل أى القران) terbit 12 jilid

- Tafsir Ibnu Katsir (تفسير القران العظيم) dengan 4 jilid

- Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )

- Tafsir Imam As-Suyuty (الدر المنثور في التفسير بالمأثور ) terbit 6 jilid.


2. Tafsir Bir Ra'yi (Diroyah).

Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Pertama : Ar-Ro'yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:

(1) Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur'an dan as-sunnah

(2) Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma'tsur

Seorang? mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini? diantaranya :

- Tafsir Al-Qurthuby (الجامع لأحكام القران )

- Tafsir Al-Jalalain (تفسير الجلالين)

- Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل).



Kedua : Arro'yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela/ dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid?ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur?an sesuai dengan keyakinannya? untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:

- Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون? الأقاويل في وجوه التأويل)

- Tafsir? Syiah Itsna Asyariah seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني )? danمع البيان لعلوم القران? لأبي الفضل الطبراسي

- Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي??? و? عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي???



SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR'AN


Untuk bisa menafsirkan al-Qur?an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:

(1) Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur?an.

(2) Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.

(3) Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur?an seperti penafsiran dengan al-Qur?an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi?in.

(4) Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur?an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata;? ?Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur?an) jikalau tidak menguasai bahasa arab?.

(5) Memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari?ah,

(6) Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur?an seperti ilmu Nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-Ma?ani, al-Bayan, al-Badi?, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur?an), aqidah shahihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.

Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :

1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim di awal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba?in nya).

2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain

3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.

4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.

5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.

6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Para cendekiawan liberal tidak lagi hanya berhadapan dengan “dakhîl” tafsir berupa tawaran menyesatkan tapi juga “dakhîl’ yang menyerang eksistensi Al-Qur’an. Inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah sebagai tafsir “tercela”. [edisi kedua, habis]

Oleh: Fahmy Salim, LC *


Menurut Ibnu Taimiyah, ada tiga bentuk penyelewengan tafsir; Pertama, kesalahan dalam pemahaman ‘dalil’ (penanda) dan ‘madlûl’ (petanda). Penyimpangan ini sering terjadi karena sebagian mufasir memiliki preyudis dalam memahami pokok-pokok kepercayaan kemudian mengkatrol Al-Qur’an sebagai pembenarannya dan untuk mendukung hal itu dia menafsirkan redaksi Al-Qur’an agar sesuai dengan kehendaknya. Adigium ‘Ja’l al-Qur’ân Tâbi’an wa al-Mazhab Matbû’an’ cocok dengan kondisi ini. Kekeliruan ini sering dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan yag sesat.

Kedua, kesalahan dalam memahami ‘dalil’ saja. Bisa jadi seorang mufasir ketika memahami sebuah ayat berhasil menghimpun makna dan pemahaman yang benar akan tetapi teks Al-Qur’an tidak menunjukkan kepada pemahaman tersebut. Hal ini sering dialami oleh penafsiran esoterisme sufi.

Ketiga, kesalahan yang diakibatkan oleh kekakuan memahami arti-arti konvensional suatu kata dalam Al-Qur’an tanpa memperhatikan konteks pembicaraannya. Karena kosakata Arab yang digunakan Alquran telah kehilangan maknanya yang lama dan mengandung pengertian baru. Atau terulangnya suatu kata di beberapa tempat dalam Al-Qur’an yang masing-masing memiliki arti yang berbeda. Sehingga ketiga corak penyimpangan tersebut dapat menafikan sesuatu yang pada dasarnya dikehendaki oleh Alquran atau sebaliknya mengafirmasi sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendakinya.

Antara Harmonisasi Wahyu dan Akal

Ibnu Taimiyah mengembangkan ide pembatalan dualisme yang santer didengungkan mengenai adanya polarisasi antara Naql dan ‘Aql. Beliau menepis persengketaan antara wahyu Tuhan dan akal manusia. Ini bisa dibaca dalam karya-karyanya; Dar’u Ta’ârudl al-‘Aql wa al-Naql, al-Nubuwwât, Ma’ârij al-Wushûl dan lain-lain.

Beliau sampai pada kesimpulan bahwa korelasi antara keduanya bersifat ‘ekuivalen’ (talâzum) dengan mengintegrasikan akal ke dalam pengertian syari’at untuk menghindari klaim permusuhan tersebut. Dengan cara itu beliau mampu menghindari ‘rasionalisme’ Mu’tazilah dan ‘skripturalisme’ ahli hadis kepada apa yang bisa kita sebut sebagai “Rasionalisme Legal” (‘Aqlâniyyah Syar’iyyah) atau sebaliknya.

Dengan ide ini sebenarnya beliau telah jauh melampaui gagasan al-Ghazâlî dan Ibnu Rusyd dalam upaya keduanya mempertemukan agama dan filsafat yang masih terkesan setengah hati. Berangkat dari sini beliau menolak paradigma alternatif yang disodorkan ahli kalam dalam mengolah akidah dan konsepsi Islam yang memarginalkan metode penarikan kesimpulan Al-Qur’an yang legal dus rasional, serta tidak mentolelir hilangnya kekhasan metode Al-Qur’an. Sehingga metode ta’wîl, ta’thîl (disrupsi) dan tasybîh (antropomorphisme) tidak mendapat tempat dalam kerangka keilmuan Ibnu Taimiyah.

Di saat yang sama ia memperingatkan bahaya skripturalisme ahli hadis yang, menurutnya, tidak berusaha mengungkapkan bukti-bukti rasional dalam mengafirmasi konsep-konsep teologis, profetik dan eskatologis. Hal ini, dalam pandangannya telah menjadikan keimanan terhadap Rasul sebagai sesuatu yang besemayam di dalam hati tanpa perlu pembuktian yang absah. Jadi jelaslah bahwa konvergensi akal dan wahyu menjadi titik berat perhatiannya dalam mengupas problem keagamaan yang diuraikan oleh Al-Qur’an.

“Pembuktian terhadap kebenaran dengan penciptaan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna adalah metode rasional yang legal. Ia legal karena Al-Qur’an yang menujukkannya kepada manusia dan mengarahkannya. Dus rasional karena eksistensi manusia yang tadinya nihil menjadi ada melalui proses nuthfah, ‘alaqah dan seterusnya hanya dapat diketahui melalui pembuktian empiris dan rasional, terlepas dari nuktah-nuktah agama mengabarkannya atau tidak? Banyak kalangan yang bertikai melupakan metode ini. Allah berfirman “Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran kami di alam raya dan dari diri-diri mereka sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Alquran itu benar” (Q.s. Fusshilat: 53), seterusnya penggalan ayat itu berbunyi “Tidakkah cukup dengan Tuhanmu sebagai saksi ata segala sesuatu?”. Jadi di sana diterangkan bahwa tanda-tanda kebesaran yang diperlihatkan kepada manusia hingga mereka mengetahui kebenaran Al-Qur'an merupakan bukti-bukti rasional. Di samping ia juga merupakan bukti-bukti legal karena ditunjukkan oleh syara’. Di dalam Al-Qur'an penuh dengan ayat-ayat yang dibuktikan oleh rasio tapi bersifat syar’i karena agama lah yang menuntun dan mengarahkannya”, tandas beliau.

Kalau dahulu para tokoh yang mengkritisi khazanah tafsir berhadapan dengan dongeng-dongeng Isrâiliyyât, gelombang filsafat Hellenisme dan kejumudan berfikir umat Islam, di abad ini, kita sedang menyaksikan suatu fenomena baru yang lebih dahsyat. Yakni, lahirnya Isrâiliyyât modern, dan virus sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) yang dilahirkan dari orientalisme. Fenomena seperti inilah yang kini sedang dipuja-puja aktivis liberal.

Fenomena keberagamaan baru ini untuk sementara akan dianggap banyak orang seolah-olah bersikap agamis, meski aslinya ingin menjauhkan manusia dari sang Pencipta-nya. Sebab yang sekarang terjadi bukan hanya pemahaman Al-Qur’an yang dipelintir sedemikian rupa dengan memakai analisis hermeneutika dan dialektika marxisme. Bahkan otentisitas Al-Qur’an sudah mulai otak-atik untuk “diragukan” dengan dalih metode kritik historis.

Para cendekiawan Muslim kita sekarang ini tidak lagi hanya berhadapan dengan “dakhîl” tafsir Al-Qur’an berupa tawaran-tawaran menyesatkan tapi juga “dakhîl’ yang menyerang eksistensi Al-Qur’an itu sendiri. Boleh jadi, inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah sebagai tafsir-tafsir “tercela”.

Penulis adalah mahasiswa program pascasarjana (S-2) Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Universitas Al-Azhar Mesir dan kontributor buku "Otentisitas Al-Qur’an" yang dipublikasikan oleh FORDIAN, April 2003

Senin, 18 Januari 2010

Belajar HTML

Assalamualaikum warohmatullahi Wabarokatuh

   Belajar membuat huruf tebal.
Ini huruf tebal
Huruf tebal strong

Membuat huruf miring
teks miring
teks miring menggunakan em

membuat garis bawah
Teks garis bawah

Membuat tautan
anchor text

Membuat huruf warna
teks warna



Mobile Blogging