Sabtu, 05 Juni 2010

Ibadah Dalam Safar

A. Definisi Safar
Safar menurut bahasa adalah mengambil sebuah perjalanan. Atau bisa juga dikatakan safar adalah keluar dari rumah dalam rangka perjalanan atau sengaja untuk menempati suatu tempat. Orang Arab mengatakan bahwa yang dinamakan safar yaitu apabila ia telah menempuh waktu sehari dalam perjalanannya.
Sedangkan safar menurut istilah yaitu suatu perjalanan yang berhubungan dengan hukum syar'i sehingga diperbolehkannya untuk menjama' dan mengqashar sholat ataupun bolehnya ia untuk berbuka ketika berpuasa.
B. Definisi Ibadah
Ibadah menurut bahasa adalah kerendahan dan ketundukan. Sedangkan menurut istilah adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh syar'i yang bukan merupakan adat dan bukan pula hasil karya akal. Atau ada juga yang mengatakan bahwasanya ibadah itu adalah segala sesuatu yang dapat mendatangkan kecintaan dan keridloan Allah Ta'ala dalam perkataan ataupun perbutan yang nampak atau pun yang tersembunyi.
C. Bagaimana Ibadah Ketika Safar?
Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah. Sebagaimana firman Allah :
" و ما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون ." ( الذاريات :56)
Oleh karena itu,kapan pun dan dimana pun manusia itu berada hendaknya selalu meniatkan perbuatannya untuk beribadah. Tak terlepas dalam keadaan senang atau pun susah, lapang atau pun sempit, mudah atau pun sulit. Karena itu adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankannya. Begitu juga dalam keadaan mukim atau pun safar, ibadah-ibadah yang hukumnya wajib tetap harus dilaksanakannya. Sehingga Allah memberikan keringanan-keringanan di dalam menjalankannya. Seperti firman Allah Ta'ala :
...يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر.....( البقرة :185)
D. Beberapa Rukhshoh di Dalam Safar

Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Islam itu agama yang mudah. Agama yang tidak memberatkan bagi pemeluknya karena meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dengan melihat mashlahat yang ada dan menghindari bahaya atau kesulitan yang sekiranya bisa terjadi. Oleh karena itu, Islam memperhatikan kepentingan dan kebutuhan manusia. Sehingga manusia terjaga di dalam haknya dan konsisten dalam menjalankan kewajibannya. Dalam masalah safar ini pun, Islam memberikan beberapa keringanan di dalam urusan ibadah dengan melihat berat dan sulitnya keadaan ketika bersafar. Keringanan-keringanan ini dalam beberapa hal, sebagai berikut :
1. Thoharoh (bersuci)
Di dalam ibadah, bersuci adalah salah satu masalah penting yang harus diperhatikan. Karena ia merupakan wasilah di dalam melaksanakan kewajiban yang lain. Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwasanya hukum wajib bagi sesuatu maka wajib pula bagi perantaranya. Oleh karena itu Islam memberikan kelonggaran dalam masalah thoharoh bagi orang yang menjalankan safar dalam hal-hal berikut ini :
a. Bolehnya bertayamum
Dalam hal ini ketika seorang musafir tidak mendapatkan air sedangkan sudah masuk waktu sholat, maka oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dibagi :
 Mengakhirkan waktu sholat, jika ia mengetahui dengan yakin akan adanya air.
 Mengawalkan waktu sholat, jika ia mengetahui dengan yakin akan ketidak adanya air.
b. Mengusap alas kaki
Bagi seorang musafir, maka ia diperbolehkan mengusap sepatu, sandal, kaos kaki ataupun alas kaki sejenisnya dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasalam :
" عن عوف بن مالك الأشجعى :أن النبي ص.م أمر بالمسح على الخفين في غزوة تبوك : ثلاثة أيام ولياليهن للمسفر , ويوما وليلة للمقيم." أخرجه أحمد
Di dalam menghitung waktu ini, maka ada perbedaan pendapat:
 Dihitung pada waktu ia mengenakan alas kaki, ini adalah pendapat
Hasan Al Bashri
 Dihitung dari pertama kali ia berhadats setelah mengenakan alas
kaki, ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsaury, Syafi'i, Abi Hanifah, dan madzhab Hambali
 Dihitung untuk 15 kali sholat lima waktu, ini adalah pendapat Asy Sya'bi, Ishaq, dan abi Tsaury
 Dihitung ketika ia pertama kali mengusap setelah ia berhadats, ini adalah pendapat Ahmad bin Hambal, 'Auza'y, An Nawawy, Ibnu Mundzir, Ibnu Utsaimin. Ini adalah pendapat yang paling kuat.
Apabila terjadi pada seseorang yang muqim dan mengusap alas kaki yang kemudian ia bersafar, maka ada 2 pendapat :
 Ia mengusapnya dengan menyempurnakan waktu sehari semalam dan kemudian wajib baginya untuk membasuh kakinya
 Ia mengusapnya dengan menyempurnakan waktu 3 hari 3 malam. Ini adalah pendapat yang lebih kuat.
Dengan ketentuan sebagai berikut :
 Hendaknya ketika mengenakan alas kaki, dapat memastikan bahwa
kondisi kakinya dalam keadaan suci. Sebagaimana dalam hadits :
" أمرنا أن نمسخ علي الخفين إذا نحن ادخلناهما علي طهر".
 Mengenakan jenis sepatu yang mubah menurut syar'i ( bukan barang ghosoban atau terbuat dari sutera untuk laki-laki )
 Bagi wanita hendaknya mengenakan alas kaki yang dapat menutupinya dari laki-laki
 Mengusapnya di atas punggung sepatu atau alas kaki sekali usapan
Akan tetapi menurut jumhur, bahwa membasuh kaki lebih utama daripada mengusapnya. Dan menurut madzhab Hambali, mengusap lebih utama karena mengambil rukhshoh lebih utama.
Mengusap alas kaki ini bisa batal dengan hal-hal sebagai berikut :
 Mandi janabat
 Melepas alas kaki dan berhadats katika mengenakannya
 Telah habis masa bolehnya ia mengusap alas kaki
Walaupun demikian, ketika ia melepas alas kakinya dan ia tidak mengalami hal-hal yang membatalkan wudlu, maka wudlunya tetap sah menurut pendapat yang paling kuat.
c. Mengusap perban,sorban atau khimar
Dengan dalil sebagai berikut :
عن بلال قال :" رأيت رسول الله ص.م مسح على الخفين والخمار". روه مسلم
Dan syaratnya adalah bahwasanya penutup kepala tersebut melingkar di leher dan akan mengalami kesulitan apabila ia harus melepasnya. Dengan cara mengusap di sebagian besar penutup kepala tersebut. Sedangkan dalam mengusap perban luka, maka ia harus mengusap seluruh bagiannya.
Dalam masalah waktu, maka dalam masalah ini tidak ada batasan waktunya.
2. Sholat
Dalam safar, masalah sholat adalah masalah yang membutuhkan pembahasan panjang. Karena sholat merupakan ibadah yang terpenting dari sekian ibadah lainnya. Oleh karena itu, di sini akan dibahas beberapa masalah sebagai berikut :
a. Sholat Qoshr
* Definisi :
Mengqoshor sholat adalah meringkas sholat yang berjumlah empat raka'at menjadi dua raka'at ketika safar sama saja dalam keadaan takut atau pun aman.
* Hukumnya bagi musafir :
Dalam masalah hukum ini ada 2 pendapat :
1. Rukhshoh (boleh)
Ini adalah pendapat jumhur, yang berdasarkan atas firman Allah Ta'ala dalam surat An Nisa' ayat 101 :
و إذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا....
2. Wajib (azimah)
Ini adalah pendapat madzhab dzohiriyah, malikiyah dan hanafiyah. Karena banyak hadits yang menyatakan bahwa sholat safar itu adalah dua raka'at, salah satunya adalah :
حديث ابن عباس عن النبي ص.م قال : فرض الله الصلاة على لسان نبيكم في الحضر أربعا, وفي السفر ركعتين , و في الخوف ركعة.أخرجه مسلم
Ini adalah pandapat yang lebih kuat. Akan tetapi, ketika ia bermakmum dengan orang yang mukim, maka baginya untuk menyempurnakan sholat-
nya sebagaimana orang mukim.
* Syarat mengqoshor sholat adalah ketika ia bersafar dengan niat untuk ketaatan, tidak untuk kemaksiatan. Dan bolehnya mulai mengqoshor sholat ketika telah meninggalkan daerahnya.
* Jarak safar
Dalam hal ini, maka para ulama' berbeda-beda pendapat, yaitu :
1. Ketika safar telah menempuh jarak 48 mil atau sama dengan 85 km. Ini adalah pendapat Malik, Syafi'i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur yang berdasar atas hadits :
ما روي عن ابن عباس مرفوعا : " يا أهل مكة لا تقصروا في أقل من أربعة برد (1برد هو 4 فرسخ هو 12 ميلا ) من مكة إلىعسفان ". وهو منكر لا يصح .
Akan tetapi hadits ini dikuatkan oleh perkataan 'Umar ra dan Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa mereka tidak mengqoshor sholat dan berbuka puasa kecuali setelah menempuh jarak 4 burd.
2. Ketika safar yang menempuh jarak perjalanan 3 hari 3 malam dengan unta berjalan. Ini adalah pendapat Ibnu Mas'ud, Suwaid bin Goflah, Asy Sya'bi, An Nakho'i, Ats Tsaury dan madzhab Abi Hanifah yang berdasar atas hadits :
عن ابن عمر عن النبي ص.م قال : لا تسافر المرأة ثلاثة أيا م إلا مع ذى محرم . أخرجه البخارى
3. Tidak ada jarak tertentu dalam masalah ini. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, dan madzhab Dzohiry. Karena Nabi Sallallahu 'alaihi wa salam tidak menyatakan dengan jelas tentang jarak tersebut dan juga mengambil dalil dari Al Qur'an surat An Nisa' ayat 101.
* Masa waktu qoshor, apabila ia berniat untuk mukim.
Para ulama' berbeda-beda pendapat dalam hal ini, akan tetapi yang paling terkenal diantaranya yaitu ada 4 :
1. Jika berniat untuk bermukim selama lebih dari empat hari, maka tidak ada qoshor baginya. Ini adalah pendapat jumhur. Sebagaimana Nabi SAW melakukannya, dalam haditsnya yang berbunyi :
قال ابن عباس رضي الله عنهما : قدم النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه لصبح رابعة يلبون بالحج فأمرهم أن يجعلوها عمرة إلا من معه الهدي.متفق عليه
2. Jika berniat bermukim selama 15 hari, maka tidak ada qoshor baginya. Ini adalah pendapat Abi Hanifah, Ats Tsaury, Al muzny.
3. Jika belum berniat untuk mukim selamanya, maka baginya boleh qoshor. Jadi, pada pendapat ketiga ini tidak ada batas waktu tertentu. Ini adalah pendapat Al Hasan, Qotadah, Ishaq. Ibnu Taimiyah pun memilih pendapat ini. Dengan mengambil dalil berikut :
حديث ابن عباس قال : " أقام النبي ص.م تسعة عشر يقصر , فنحن إذا سافرنا فأقمنا تسعة عشر قصرنا, وإن زدنا أتمنا. أخرجه البخارى
Juga disebutkan dalam hadits lain bahwasanya Rasulullah SAW ketika perang tabuk mengqoshor sholatnya selama 20 hari. Jadi, dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti dalam menentukan lama waktu qoshor.
4. Seorang musafir boleh mengqoshor sholatnya selama 20 hari dan selebihnya ia menyempurnakan sholatnya, baik berniat mukim atau tidak. Ini adalah pendapat Abi Muhammad bin Hazm, Asy Syaukani.
Dari keempat pendapat tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwasa-
nya orang yang bersafar berada dalam 2 keadaan :
a. Ketika ia bersafar ke suatu daerah dan tidak berniat untuk bermukim selamanya, akan tetapi ia telah memastikan tempat yang aman untuk bermukim, maka baginya tidak ada qoshor.
b. Apabila ia bersafar dengan tidak berniat untuk bermukim selamanya, akan tetapi ia belum bisa menjamin keamanan dirinya dalam tempat tinggal, maka baginya mengqoshor sholat.
* Bagaimana jika seorang musafir sholat di belakang orang yang mukim? Maka baginya harus mengikuti imam, walaupun dalam sholat empat raka'at. Sebagai-mana hadits berikut :
قال رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ. أخرجه مالك
* Bagaimana jika seorang mukim bermakmum dengan musafir? Maka wajib baginya untuk menyempurnakan sholatnya. Dan disunahkan bagi musafir untuk mengucapkan أتموا صلاتكم فإنا قوم سفر" ".
* Tidak disyaratkan niat dalam sholat qoshor karena Rasulullah SAW dan para sahabatnya ketika sholat qoshor, para sahabat tidak mengetahui sebelumnya.
* Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasalam membolehkan melakukan sholat nawafil di atas kendaraan dengan berkiblat mengikuti arah kendaraan, tetapi tidak untuk sholat fardlu. Akan tetapi pada saat keadaan yang mendesak, boleh melakukannya dengan syarat :
- Telah ada usaha untuk menghadap kiblat sesuai dengan keadaannya.
- Sebisa mungkin untuk tetap melakukan gerakan-gerakan sholat dengan
sempurna.
Dan Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasalam pernah meninggalkan sholat nawafil ketika safar kecuali sholat witir dan sunah fajar.

b. Sholat Jama'
* Definisi
Menggabungkan antara dua sholat (dhuhur dan ashar, maghrib dan isya') menjadi satu waktu jama' taqdim ataupun jama' ta'khir.
* Hukum
Dalam masalah ini, para ulama' berbeda-beda pendapat, yaitu ;
a. Tidak boleh jama' kecuali di padang Arofah ketika hari Arofah dan pada malam di Muzdalifah pada waktu haji
حديث ابن مسعود قال : " ما رأيت رسول الله ص.م صلى صلاة لغير ميقاتها إلا صلاتين : جمع بين المغرب والعشاء بالمزدلفة , و صلى الفجر يومئذ قبل ميقاتها. أخرجه البخارى
b. Boleh jama' bagi musafir, dengan dalil :
حديث ابن عمر قال : كان النبي ص.م يجمع بين المغرب والعشاء أذا جدً به السير. أخرجه البخارى
Ini adalah pendapat yang lebih kuat menurut ijma' ulama'
* Dalam menjama' sholat, maka adzan dilakukan sekali dan iqomah dua kali. Dan hendaknya sholat dilakukan secara urut.
* Manakah yang harus didahulukan antara jama' taqdim atau jama' ta'khir?
Dalam hal ini ada tiga keadaan :
1. Jika seorang musafir berjalan ketika masuk waktu sholat yang pertama dan turun ketika masuk waktu sholat yang kedua, maka hendaknya mengambil jama' ta'khir.
2. Jika seorang musafir berhenti pada saat masuk waktu sholat pertama dan berjalan pada waktu sholat kedua, maka hendaknya mengambil jama' taqdim
3. Jika seorang musafir berhenti pada kedua waktu sholat, maka hendaknya mengambil jama' taqdim.

c. Puasa
Musafir adalah salah satu golongan yang mendapatkan keringanan untuk berbuka, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
….. و من كان منكم مريضا أو علي سفر فعدة من أيام أخر.....البقرة : 184
Akan tetapi jika ia tetap berpuasa maka puasanya tetap sah menurut syar'i. Manakah yang lebih afdhol antara berpuasa dan berbuka? Dalam hal ini, maka ada 3 keadaan, yaitu :
a. Apabila dengan puasa membuatnya berat dalam melakukan kebaikan, maka lebih baik baginya untuk berbuka.
من حديث جابر .......قال رسول الله ص.م : " ليس من البر الصوم في السفر ." أخرجه البخارى
b. Apabila dengan puasa tidak membuatnya berat dalam melakukan kebaikan,
maka lebih baik baginya untuk berpuasa.
c. Apabila berpuasa membuatnya kepayahan yang amat berat, maka wajib
baginya untuk berbuka .
* Waktu bolehnya berbuka bagi musafir
- Apabila memulai safar sebelum fajr, maka boleh baginya untuk berbuka
- Apabila memulai safar di pertengahan hari, maka tidak boleh baginya untuk
berbuka di awal waktu.
الحمد لله رب العالمين

Referensi :
 Shohih FIqh Sunnah, Abu Malik Kamal As-sayyid salim
 Mulakhos Fiqhy, Abdullah bin Fauzan bin Fauzan
 Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq
 Safar wa Ahkamuhu fi dlouil kitab wasunnah, Sa'id bin Ali bin Wahhab

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimah kasih

Posting Komentar